Gambar Ilustrasi |
Konsep imam Mahdi merupakan salah satu perbincangan Syiah dalam bab Imamah (kepimpinan dan politik), dan konsep ini merupakan akhir dari perjalanan pembahasan Imamah Duniawi dalam akidah Syiah. Oleh karena itu sebelum membincangkan konsep imam Mahdi dalam ideologi Syiah, maka ada baiknya kalau mengenal terlebih dahulu konsep Imamah Syiah secara keseluruhan.
Dalam tulisan penulis sebelumnya yang bertajuk “Agenda Politik Syiah” PTS Millennia 2013, telah didedahkan bahwa Imamah merupakan faktor utama yang menyebabkan perselisihan di kalangan umat Islam sampai saat ini, sehingga terpecah pecah ke berbagai aliran, sekte dan mazhab, dan konflik antar sekte Islam sepeninggalnya Nabi Saw didasarkan pada suksesi politik untuk merebut tampuk kepemimpinan. Dalam istilah Syiah politik dinamakan (al-Imamah), dan istilah yang digunakan Sunni adalah (al-Khilafah), dan zaman modern saat ini dikenal dengan istilah (al-Riasah).
Dalam pandangan politik Syiah dikatakan bahwa Imamah bukanlah masalah kepentingan pribadi yang diberikan kepada pilihan publik, tetapi ianya adalah salah satu pilar agama atau asal-usul dan dasar prinsip agama (Arkan al-Din) di mana iman seseorang tidaklah sempurna kecuali percaya dengan Imamah, oleh karena itu Imam Ali merupakan pelanjut Nabi Saw yang sah dengan penunjukan langsung dari Nabi Saw (bukannya Abu Bakar), dan para Imam setara dan sebanding dengan kedudukan Nabi Saw, berdasarkan pandangan dan asumsi di atas Syiah dalam setiap kasus berpendirian bahwa hak politik adalah mutlak dimiliki oleh kalangan Ahlul Bayt saja.
Pada dasarnya konsep politik Ahlu Sunnah didasari oleh tiga hal, yaitu dengan cara pemilihan (ikhtiar) yang dibangun di atas syura, Ijma’ dan bay’ah. Adapun konsep politik Syiah dilandaskan oleh penentuan yang dalam istilah Syiah selalu disebut sebagai “Nash”, di samping itu penyifatan ‘Ishmah atau kemaksuman seorang imam tidak dapat dipisahkan dengan Imamah (kepimpinan Syiah). Di sisi lain Sunni menyerukan suksesi berdasarkan seleksi dan konsensus yang dilakukan oleh rakyat yang diwakili oleh Ahlul Halli wa al-Aqdi dalam memilih kelayakan seorang pemimpin atau presiden.
Oleh karena itu, kepentingan Imamah dalam Syiah amat tinggi dan jauh berbeda dengan wacana kepimpinan dalam Ahli Sunnah wal Jamaah, karena segala sesuatu di dunia ini mereka kembalikan kepada imamah dan berbagai perangkatnya. Oleh karena itu, mereka jadikan imamah sebagai dasar akidah mereka. Sedangkan ahlu sunnah menjadikan imamah sebagai bagian masalah furu’iyyah berdasarkan dalil-dalil yang ada.
Berdasarkan hal ini, maka para ulama ilmu kalam terpaksa memasukkan materi “imamah” dalam kitab akidah atau yang dikenal dengan ilmu ushuluddin sebagai reaksi terhadap tindakan Syiah yang menjadikannya sebagai salah satu persoalan agama yang paling penting, sampai mereka memasukkannya sebagai salah satu rukun imam. Hal ini telah disinyalir oleh imam Shalih al-Muqbali dengan ucapannya, “ imamah adalah masalah fiqhiyyah, akan tetapi para ulama kalam telah memasukkannya ke dalam pembahasan mereka akibat besarnya polemik antara mereka (Syiah dan Sunni), sebagaimana halnya sebagian ulama asy’ariyyah telah menjadikan persoalan membasuh di atas kasut sebagai salah satu masalah ilmu kalam”[1].
Pelantikan seorang imam menurut pandangan asy’ariyah adalah suatu perkara yang wajib secara tekstual agama (sam’i), sedangkan menurut zaidiyah dan mu’tazilah adalah suatu kewajiban secara logik (akli), dan menurut imamiah serta isma’iliyah pelantikannya adalah suatu kewajiban bagi Allah. Sedangkan kelompok khawarij berpendapat bahwa pelantikannya sama sekali tidak diwajibkan, namun imamiah mewajibkannya demi menjaga berbagai undang-undang syariat dari perubahan yang disebabkan oleh adanya penambahan dan pengurangan, dan isma’iliyah mewajibkannya demi mengenalkan Allah dan sifat-sifat-Nya, yang artinya, menurut pendapat mereka bahwa kewajiban adanya seorang imam bertujuan untuk mengenal Allah melalui para imam[2].
Sebenarnya secara realitasnya, imamah adalah batu fondasi dalam seluruh aliran Syiah – Syiah zaidiyah, Syiah imamiah, dan Syiah isma’iliyah bathiniah-. Mereka semua sepakat menjadikannya sebagai salah satu dasar agama[3]. Dan syaikh al-Mufid –seorang ulama besar imamiyah- berpendapat bahwa manakala imamah menjadi kaidah yang utama dan rukun bagi aliran Syiah, maka zaidiyah masuk ke dalam golongan Syiah, karena zaidiyah memiliki dasar yang sama[4].
Ini adalah sebuah statement yang benar, sebagaimana yang telah diungkapkan secara terang-terangan oleh para ulama Syiah zaidiyah dalam berbagai kitab mereka yang berbeda. Misalnya, perkataan imam al-Husain bin al-Qasim al-Iyani az-Zaydi: “sesungguhnya imamah adalah suatu fardhu dari Allah yang tidak ada seorang pun yang mampu untuk tidak memedulikannya”[5]. Dan imam Ahmad bin al-Hasan ar-Rashshash az-Zaidi juga berkata: “sesungguhnya imamah adalah salah satu dasar agama yang penting yang wajib diketahui oleh semua orang mukalaf”[6]. Dan imam Humaidan bin Yahya az-Zaidi berkata: “sesungguhnya mengetahui berbagai perkara imamah termasuk dasar agama yang diwajibkan yang jika diabaikan berhak untuk diberikan dosa dan siksaan. Maka orang yang mengaku dirinya sebagai Syiah mempunyai dua pilihan, mengakui apa yang telah disepakati dan mengakui kebenarannya, atau tidak, jika dia mengingkarinya atau menakwilkannya maka dia bukanlah orang Syiah”[7].
Sedangkan imam Abul Qasim Muhammad bin al-Hutsi, penganut Syiah zaidiyah modern berkata dalam penghujung kitabnya “al-Maw’izhah al-Hasanah, setelah dia sebutkan semua masalah ushuluddin dan di antaranya adalah imamah: “maka ini adalah tiga puluh masalah dasar agama sesuai dengan kaidah moyang kita ahlul bait, maka harus diterima dengan penuh keyakinan, dan tidak boleh hanya sekedar mengikut kepada seorang mukalaf dalam masalah ini”[8].
Di antara bukti-bukti teks ucapan Syiah imamiyah yang menunjukkan bahwa imamah masuk ke dalam dasar agama adalah perkataan Ibnu al-Muthahhir al-Hulli al-Imami[9] dalam mukaddimah kitabnya “Minhaj al-Karamah”: “ amma ba’du, maka ini adalah sebuah risalah yang mulia, dan maqalah yang lembut, yang mencakup beberapa unsur yang paling penting dalam dasar agama, dan yang paling mulia di antara berbagai permasalahan kaum muslimin. Yaitu masalah imamah yang terbentuk dengan sebab dia mencapai derajat yang mulia, yang merupakan salah satu rukun iman, yang karena sebabnya orang yang memiliki hak untuk menjadi imam akan kekal berada di surga dan terbebas dari kemurkaan Yang Maha Pengasih”[10].
Sedangkan seorang ulama Syiah imamiah modern syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar berkata: “ kami memiliki keyakinan bahwa imamah termasuk salah satu dasar agama, yang keimanan seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan meyakininya”[11].
Sedangkan teks ucapan Syiah Isma’iliyah bathiniah yang berkaitan dengan imamah adalah sebagaimana yang dipetik dari perkataan seorang pendakwahnya Hamiduddin al-Karamani al-Bathini, yaitu: “sesungguhnya imamah adalah salah satu dasar Islam, dan dia adalah dasar yang paling mulia dan paling afdhal, sehingga dasar ini tidak akan dapat sempurna tanpanya”[12].
Bagaimanapun juga, maka sesungguhnya imamah menurut aliran Syiah bukan sebuah permasalahan maslahat yang tunduk dengan pilihan dan aspirasi umum. Akan tetapi dia adalah sebuah permasalahan dasar dalam agama (ushuli), yang masuk ke dalam salah satu rukun agama, yang tidak boleh diabaikan dan diacuhkan oleh Rasulullah saw, atau diserahkan pemilihannya kepada masyarakat umum. Oleh karena itu, maka syarat untuk bergabung kepada aliran Syiah adalah berkeyakinan bahwa imamah merupakan bagian dari dasar agama.
Berdasarkan hal ini, Syiah memberikan perhatian yang besar bagi permasalahan imamah. Dan berbicara panjang lebar mengenainya, dan semua aliran dan kelompok Syiah yang berbeda memberikan perhatian yang besar kepadanya[13].
Hasilnya adalah, mereka membuktikan di hadapan semua manusia dan dengan cara yang tidak langsung bahwa imamah adalah warisan khusus untuk ahlul bait atau keluarga Nabi saw, maka orang yang selain mereka ini tidak boleh menjadi imam bagi umat Islam. Hal ini dikuatkan oleh perkataan imam Ahmad bin Yahya al-Husain az-Zaydi[14]: “..kemudian Allah Azza wa Jalla memilih ahlul bait, dan Dia jadikan kepemimpinan dan politik untuk mereka”[15].
Dengan statement ini menjadi jelas bagi kita bahwa aliran Syiah dengan berbagai perbedaan aliran dan kelompoknya telah bersepakat bahwa Nabi saw telah memilih Ali ra untuk menjadi penggantinya setelah beliau meninggal dunia. Dan Nisywan al-Humyari az-Zaydi memberitahukan kita mengenai konsensus aliran Syiah ini: “semua Syiah berpendapat bahwa sesungguhnya Ali as adalah orang yang paling utama menempati posisi Rasulullah saw setelah kematiannya. Dialah orang yang paling berhak terhadap imamah dan menjadi pemimpin untuk umatnya”[16].
Hal ini juga telah diisyaratkan oleh asy-Syahrastani al-Asy’ari ketika dia memberikan definisi Syiah: “ orang-orang yang mendukung Ali ra secara khusus, dan mereka mengakui keimamahannya dan kekhilafahannya baik secara teks ataupun secara ucapan, secara terang-terangan ataupun secara tersembunyi”[17].
Teks yang menunjukkan tentang penunjukan Ali ra untuk memegang tampuk imamah adalah yang dipaparkan dalam peristiwa Ghadir Kham, yaitu pada sebuah hadits yang mereka nisbahkan kepada Rasulullah saw yang berkaitan dengan perkara Ali bin Abi Thalib ra: “ tidakkah kalian mengetahui bahwa aku lebih utama bagi orang mukmin dari diri mereka sendiri? Mereka menjawab: iya. Beliau kembali bersabda: barang siapa yang menganggap aku sebagai tuannya maka Ali juga adalah tuannya. Ya Allah tolonglah orang yang menolongnya, musuhilah orang yang memusuhinya, bantulah orang yang menolongnya, kecewakanlah orang yang mengecewakannya, dan iringilah kebenaran bersamanya ke manapun dia pergi”[18].
Imam Yahya bin Hamzah az-Zaydy mengatakan bahwa dalil yang menunjukkan imamah Ali bin Abi Thalib merupakan dalil yang qath’i, yang kebenarannya mutlak sah, dan tidak masuk ke dalam permasalahan ijtihad, sebagaimana yang diklaim oleh sebagian orang. Maka barang siapa yang menyalahinya tidak diragukan lagi bahwa dia telah bersalah, karena dia telah menyalahi dalil yang qath’i[19].
Akan tetapi, sebenarnya jika kita teliti dan selidiki apa yang disabdakan oleh Rasulullah saw pada peristiwa hajjatul wada’, maka dapat kita lihat dengan jelas bahwa beliau sama sekali tidak menyebut perkara yang berkaitan dengan kekhilafahan. Sesungguhnya yang beliau sebutkan adalah keutamaan amirul mukminin Ali ra, karena sebab jasanya kepada kaum muslimin. Oleh karena itu, Syiah tidak cukup hanya berpegang dalil kepada peristiwa Ghadir Kham untuk menunjukkan keimamahan imam Ali, akan tetapi mereka – dengan semua aliran mereka meskipun mereka saling berselisih pendapat dan memiliki akidah yang saling berbeda- sama-sama bersandarkan kepada ayat-ayat al-Quran untuk menguatkan keyakinan mereka mengenai kewajiban untuk menjadikan Ali ra dan keturunannya sebagai khalifah. Di antaranya adalah firman Allah swt: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)”. (QS. Al-Ma`idah: 55). Dan juga firman-Nya: “taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu”. (QS. an-Nisaa: 59).
Mereka berkata: sesungguhnya yang dimaksud dengan “ulil Amri” adalah para imam dan keturunan mereka yang berasal dari Ali ra[20].
Berdasarkan ini, maka faktor yang menyatukan mereka adalah keyakinan bahwa imam Ali dan kedua anaknya, Hasan dan Husain adalah para imam. Sedangkan mengenai para imam yang setelahnya mereka saling berselisih pendapat. Oleh karena itu, setiap golongan Syiah zaidiyah, imamiyah, dan isma’iliyah saling berusaha membuktikan bahwa yang berhak memegang imamah adalah imam kelompok mereka. Maka mereka memberikan perhatian yang sangat besar dalam permasalahan imamah ini sampai mereka jadikan hal ini sebagai dasar agama yang paling utama.
Guru saya, DR. Hasan al-Syafi’i[21] menyebutkan dalam suatu isyarat yang ringkas bahwa Syiah tidak hanya saling berselisih pendapat dalam jumlah para imam serta penetapan keturunan mereka saja, akan tetapi juga mengenai tugas imam itu sendiri. Menurut Syiah imamiyah, imam adalah pelaksana syariat jika dia memiliki kekuasaan, dan jalan untuk mencapai ilmu mengenai hukum-hukumnya dengan hukum ‘ishmah, dan tidak ada lapangan untuk berijithad ketika imam sudah muncul. Sedangkan menurut Syiah isma’iliyah, imam adalah jalan untuk mengetahui syariat, dan orang yang memiliki hak untuk melaksanakan hukum-hukumnya. Dan di samping itu dia juga memiliki tugas untuk mengurus dunia, karena urusan dunia tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpanya. Sedangkan Syiah zaidiyah berpendapat bahwa tugas imam adalah hanya melaksanakan hukum-hukum syariat saja, dan pengetahuannya mengenai hukum-hukum syariat sama seperti pengetahuan mujtahid yang lain. Dan dengan pendapatnya ini Syiah zaidiyah memiliki titik persamaan dengan ahli sunnah[22].
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dari semenjak permulaan imamah adalah unsur yang paling penting, kaidah yang paling kuat dalam konsep dakwah Syiah, dan tempat berteduh yang aman. Dan dia berusaha menegaskannya dan mendukungnya dengan berbagai cara, baik secara rohani ataupun secara kekuatan kelompok. Dan berusaha dengan keras untuk mendapatkan berbagai dukungan dalil mengenai imamah dari al-Quran dan hadits, sehingga tercipta suasana keimanan dan kesucian mengenai imamah, yang pada akhirnya terus naik derajatnya sampai mencapai derajat kenabian. Para fuqaha, perawi, dan dai Syiah berusaha dari semenjak awal kemunculannya menciptakan suasana kesucian ini di sekeliling imamah dengan melalui berbagai kitab dan risalah yang mereka ciptakan[23].
Akan tetapi, Syiah zaidiyah –selain Zaidiyah al-Jarudiyah- dikecualikan dari ini semua. Dan yang berjasa melakukannya adalah imam Zaid bin Ali, pendiri kelompok ini. Karena berbagai pendapatnya muncul dalam bentuk yang moderat, sebagai reaksi terhadap meluasnya pendapat-pendapat yang ekstrem dalam masa kekuasaan umawiyah yang disebabkan oleh sempitnya pemikiran dalam tubuh Syiah. Maka pada masa itu muncullah berbagai pemikiran yang radikal dan menyimpang yang dipicu oleh penindasan dan kezaliman penguasa. Muncullah pemikiran tentang ketuhanan Ali ra, kemunculan kembali Nabi saw, dan penafian kematian Ali ra, serta masih banyak lagi pemikiran menyimpang yang lainnya.
Berbagai pemikiran imam Zaid muncul di tengah munculnya tiga pemikiran ini:
Pertama: sesungguhnya kekhilafahan ditetapkan dengan keturunan bukannya secara pemilihan.
Kedua: keyakinan mengenai perampasan Abu Bakar terhadap hak kekhilafahan yang sepatutnya milik Ali.
Ketiga: kema’shuman para imam. Serta berbagai keyakinan yang batil yang lainnya.
Dari sini, aliran zaidiyah lahir sebagai suatu reaksi terhadap para ekstremis Syiah khususnya Syiah imamiah dan Syiah isma’iliyah bathiniah. Dan Syiah zaidiyah membuat jembatan yang menjadi penyambung antara ahli sunnah dan Syiah. Karena mereka tidak menerima pendapat mengenai adanya nash jalliy (teks yang jelas), kema’shuman para imam, kemunculan kembali Nabi saw, serta ide mengenai kemunculan imam al-Mahdi al-Muntazhar. Semua akidah ini diyakini oleh Syiah imamiah dan Syiah isma’iliyah bathiniah dalam kadar yang sama. Dan ini bukanlah sesuatu yang aneh, karena pada permulaan kemunculannya dasar Syiah isma’iliyah diadopsi dari dasar Syiah imamiah, lalu di kemudian hari keduanya berpecah mencari jalan masing-masing.
Ahmad Subhi –Profesor filsafat Islam Universiti Alexandria Mesir- berpendapat dan menganalisis bahwa sebab pengingkaran zaidiyah terhadap pemikiran ini adalah karena mereka berkeyakinan bahwa kemunculan imam al-Mahdi tidak terlepas dari keyakinan terhadap imamah itu sendiri, karena semua keturunan Fathimah az-Zahra yang pemberani, alim, zuhud, dan yang berperang dengan pedang demi menyeru kepada kebaikan adalah seorang imam dan juga al-Mahdi dalam satu waktu. Jadi berbeda dengan pemahaman mengenai imam al-Mahdi yang memiliki makna penantian akan munculnya seorang pembebas atau seorang yang ikhlas yang diutus oleh Allah. Menurut zaidiyah, semua imam zaidiyah, seperti imam Zaid dan anaknya Yahya dan Muhammad adalah jiwa yang suci yang juga merupakan imam Mahdi[24].
Patut untuk diperhatikan bahwa pemahaman imamah menurut Syiah isma’iliyah bathiniah tidak banyak berbeda dengan Syiah imamiah. Mereka sama-sama berpendapat bahwa imamah termasuk salah satu rukun Islam yang paling mulia dan paling utama. Dan rukun Islam ini hanya dapat sempurna dengan adanya unsur imamah. Bahkan imamah ini adalah suatu derajat yang tinggi yang dikhususkan untuk Ali bin Abi Thalib. Bagi mereka imamah ini sama dengan kenabian, dan menjadi penerus bagi kenabian. Oleh karena itu, wajib dan mesti ada seorang imam pada setiap satu masa, untuk mengajarkan manusia mengenai perkara agama dan dunia, serta berbagai keyakinan yang lainnya[25].
Hamiduddin al-Karamani yang merupakan seorang dai Syiah isma’iliyah bathiniah berkata: “sesungguhnya bumi ini tidak kosong dari seorang imam yang muncul demi menegakkan hak Allah, baik secara zahir dan terang-terangan, ataupun secara tersembunyi dan tidak kelihatan”[26].
Setelah kami paparkan mengenai teori imamah menurut aliran Syiah secara umum, maka selanjutnya kami akan berbicara mengenai teori imamah menurut pandangan Syiah isma’iliyah bathiniah.
Musthafa Ghalib seorang penganut Syiah isma’iliyah bathiniah modern memaparkan kepada kita bahwa teori imamah menurut pandangan Syiah isma’iliyah bathiniah berbeda dengan teori aliran Syiah yang lainnya. Karena para dai mereka memasukkan unsur filsafat ke dalam konsep imamah. Oleh karena itu, teori mereka mengenai imamah adalah sesuatu yang baru bagi aliran Syiah. Sehingga beberapa sejarawan dan ulama menilai teori imamah ini adalah sesuatu yang tidak biasa[27].
Ahmad an-Naisaburi yang merupakan seorang ulama bathiniah menjelaskan mengenai kepentingan imamah bagi aliran bathiniah, dia berkata: “imamah adalah pusat dan dasar agama, yang di sekelilingnya berputar berbagai perkara agama dan dunia, juga kebaikan akhirat dan dunia. Berbagai perkara hamba Allah diatur dengan imamah, juga pembangunan negara, serta penerimaan balasan di akhirat. Dan dengan imamah seseorang dapat mencapai ma’rifah tauhid, risalah dengan hujjah dan dalil, serta petunjuk yang membawa kepada pengetahuan dan penjelasan syariat”[28].
Dia juga berkata mengenai daruratnya keberadaan seorang imam dalam setiap masa dan tempat: “ sesungguhnya keberadaan seorang imam merupakan perkara darurat yang harus ada. Karena sesungguhnya semua syariat dan hukum-hukum bergantung kepadanya dan tidak terlepas darinya pada waktu kapan pun dan masa kapan pun. Menaati mereka merupakan suatu kewajiban bagi manusia, kepemimpinan mereka merupakan sesuatu yang harus diikuti, dan hukum-hukum yang mereka tetapkan selalu ada dan berbilang pada semua masa dan tempat untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan dan kerusakan”[29].
Hal itu juga diisyaratkan oleh al-Wazir Ya’qub bin Kullais al-Bathini: “sesungguhnya imamah tidak terlepas dari dunia walaupun hanya sekejap mata, karena imamah adalah petunjuk kepada manusia”[30].
Sedangkan ulama bathiniah lain seperti, Abu Ya’qub as-Sajastani al-Bathini berkata mengenai tugas seorang imam: “ maka kewajiban untuk melantik para imam pada semua masa adalah bertujuan untuk memberikan petunjuk kepada manusia, juga untuk menjaga agama”[31].
Isma’iliyah bathiniah memberikan dalil al-Quran dan hadits bagi pendapat mereka yang mengatakan bahwa bumi tidak terlepas dari seorang imam ma’shum. Dalil dari al-Quran adalah firman-Nya Azza wa Jalla: “(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya;”. (QS. Al-Israa: 71). Juga firman-Nya swt: “Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami”. (QS. Al-Anbiyaa: 73). juga firman-Nya swt: ” Sesungguhnya kamu hanyalah seorang pemberi peringatan; dan bagi tiap-tiap kaum ada orang yang memberi petunjuk”. (QS. Ar-ra’d: 7). Maka Allah swt menjelaskan bahwa bagi setiap manusia dalam setiap masa ada seorang imam yang memberikan hidayat kepada mereka dengan perintah Allah untuk membawa kepada agama-Nya dan jalan-Nya yang lurus. Maka pada setiap masa harus ada seorang imam bagi manusia yang menjadi pemberi petunjuk kepada mereka, baik secara zahir ataupun secara tersembunyi[32].
Sedangkan dalil mereka dari hadits adalah sebagaimana yang disebutkan oleh hadits Rasulullah saw:
“مَنْ مَاَت وَلَمْ يَعْرِفْ إِمَامَ زَمَانِهِ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً”
Artinya: “barang siapa yang mati tanpa mengetahui imam pada masanya, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”[33]. Maka hadits ini –sebagaimana yang mereka klaim- memberikan makna bahwa manusia sangat memerlukan keberadaan seorang imam pada setiap masa dan tempat[34].
Di samping dalil al-Quran dan as-Sunnah, mereka juga menggunakan dalil rasional mengenai kewajiban imamah, mereka berkata: sesungguhnya tabiat manusia saling berbeda, hawa nafsu mereka juga saling berlainan, dan juga berbagai peristiwa yang tidak dapat diketahui juga tidak dapat dibatasi. Pada dasarnya tabiat manusia memiliki keinginan untuk memiliki dan menguasai, serta menyukai kemenangan. Oleh karena itu, sebagai suatu kebijaksanaan harus ada seorang hakim di antara manusia yang menjadi penengah mereka dalam berbagai kejadian. Maka manusia tidak dapat hidup terlepas dari hukum imam, juga tidak dapat melarikan diri dari ketetapan keputusannya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Nabi saw semasa hayatnya. Maka Allah swt telah memberitahukan mengenai hal ini dalam firman-Nya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisaa: 65). Dan yang dimaksud dengan hakim adalah imam, jika begitu maka imamah adalah suatu kewajiban[35].
Berdasarkan uraian tadi, dapat dilihat bahwa tidak ada perselisihan antara Syiah imamiah dengan Syiah isma’iliyah bathiniah pada poin ini. Mereka sama-sama bersepakat bahwa hukum-hukum ilahi hanya dapat dipetik dari para imam, karena imam adalah orang yang mengetahui segala sesuatu hasil pengajaran dari alam ghaib. Dan sesungguhnya bumi tidak terlepas dari keberadaan seorang imam yang ma’shum[36].
Dalam riwayat al-Kulaini al-Imami beserta dengan sanadnya dari Abu Ja’far as dipaparkan: “ sesungguhnya jika seorang imam diangkat dari bumi untuk sesaat saja, maka para penghuni bumi pasti akan bergelombang sebagaimana bergelombangnya laut dengan para penghuninya”[37].
Hal ini juga ditegaskan oleh syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, seorang ulama Syiah modern, yang berkata: “oleh karena itu, suatu masa tidak boleh kosong dari seorang imam yang harus ditaati yang dipilih langsung oleh Allah taala, tanpa memedulikan apakah manusia enggan ataupun menerima, juga baik mereka mendukungnya ataupun tidak mendukungnya, menaatinya ataupun tidak menaatinya, juga apakah mereka tampak kelihatan dari mata manusia ataupun tidak kelihatan”[38].
Akan tetapi, Syiah imamiyah dan Syiah isma’iliyah saling berselisih pendapat mengenai sebab yang membuat mereka memiliki pendapat seperti ini. Syaikh Ja’far Subhani, seorang ulama Syiah modern berkata memberikan penjelasan mengenai perbedaan di antara kedua sekte ini: “ aku berkata: sesungguhnya apa yang telah disebutkan olehnya -oleh bathiniah- mengenai bahwa bumi tidak pernah terlepas dari keberadaan imam Allah yang hak, akan tetapi sebabnya bukanlah seperti yang mereka katakan mengenai pelaksanaan hudud, menjaga aturan-aturan, dan mencegah kerusakan; maka sesungguhnya hal itu juga dilaksanakan oleh semua penguasa. Sesungguhnya sebabnya adalah dia –imam- adalah seorang manusia yang sempurna, dan dia adalah tujuan utama dalam penciptaan, maka dengan keberadaan manusia yang sempurna itu mesti ada alam dan akhirat dengan izin Allah swt untuk tercapai tujuan penciptaannya”[39].
Isma’iliyah bathiniah telah memberikan dan melekatkan beberapa sifat tuhan dan posisi yang suci dan tinggi untuk para imamnya. Seperti memberikan sifat bahwa mereka adalah wajah Allah kepada para imam mereka, juga tangan Allah, sisi Allah, Hujjah Allah, jalan yang lurus, dan zikrul hakim.
Dalil yang mereka gunakan untuk penyipatan ini adalah, sesungguhnya seorang manusia tidak mengetahui kecuali dengan ajarannya. Dan manakala seorang imam adalah yang menunjukkan seorang ulama mengenai ma’rifah Allah, maka dengan sebabnya dia mengenal Allah, jadi dia adalah wajah Allah yang dengan sebabnya seseorang mengenal Allah. Dan tangan adalah yang dipergunakan oleh manusia untuk menyerang dan mempertahankan dirinya, dan imam adalah yang membela agama Allah, dan memerangi musuh-musuh Allah, maka dia adalah tangan Allah dalam posisi ini.
Bahkan Isma’iliah mengklaim bahwa para imam mereka adalah yang menghisab manusia pada hari kiamat. Sedangkan di dunia, mereka harus meminta ampunan dari Allah melalui para imam, karena mereka diibaratkan sebagai khalifah Allah di dunia, pintu-pintu rahmat-Nya, dan sebab ampunan Allah bagi para hamba-Nya. Barang siapa yang meminta syafaat kepada mereka akan diberikan syafaat oleh Allah, barang siapa yang meminta rahmat kepada mereka dirahmati Allah, dan barang siapa yang bertawassul dengan mereka pasti akan sampai[40]. Jika begitu, maka berdasarkan keyakinan isma’iliyah bathiniah imam Ali bukanlah Allah akan tetapi dia tidak terlepas dari Allah[41].
Seorang ulama bathiniah Hibatullah asy-Syairazi mengatakan secara terang-terangan bahwa para imam adalah wajah Allah, dia berkata: “para nabi, para pemberi wasiat, dan para imam as adalah wajah Allah taala”[42].
Isma’iliyah bathiniah juga berpendapat bahwa yang dapat mencapai derajat para nabi hanyalah para imam. Hal ini diisyaratkan oleh Ahmad an-Naisabury, seorang dai bathiniah, dengan perkataannya: “sesungguhnya poros agama terdapat pada seorang imam, dan sesungguhnya seorang imam menjalani peran Nabi dalam menjalankan syariatnya, dan derajat Nabi serta posisinya dan syariatnya yang benar yang tidak berubah dan tidak berganti hanya dapat dicapai oleh seorang imam. Dan hakikat agama dan ta`wil (penafsiran al-Quran), serta makna-makna syariat hanya dapat dicapai oleh imam[43].
Sesungguhnya yang mendorong isma’iliyah bathiniah berpendapat bahwa imam adalah yang akan menghisab manusia pada hari kiamat didorong oleh keyakinan dan keimanan mereka yang dalam bahwa semua syariat dan hukum dipegang oleh imam. Mengenai hal ini dai bathiniah Hatim bin Ibrahim al-Hamidi berkata: “dan pengumpulan manusia pada hari kiamat bersama imam.
Sesungguhnya imam adalah magnet ulama agama. Dan begitu juga, sesungguhnya jiwanya yang mulia menarik jiwa-jiwa hambanya sehingga mereka berada di ufuknya dan perlindungannya. Sebagaimana halnya batu magnet menarik dinginnya besi jika bercampur dengan pasir, dan batu magnet mendekatkan kedinginan besi dengan batu magnet yang berada di balik pasir. Batu magnet ini adalah benda mati yang sama sekali tidak memiliki akal, lalu bagaimana halnya dengan kehidupan orang-orang yang alim”[44].
Oleh karena itu, isma’iliyah bathiniah telah memberikan imamah posisi yang mulia dan suci. Dan mereka jadikan imam sebagai panutan mereka yang paling utama, sehingga mereka berikan dia kekuasaan dan keistimewaan yang besar dan luas. Posisinya sama dengan posisi Nabi saw, dan yang membedakan dia dengan Nabi saw hanyalah Nabi saw muncul lebih dahulu dibandingkan dia. Dan dia juga dapat berkomunikasi dengan malaikat secara akal aktif sebagaimana halnya Nabi saw.
Dalam hali seorang ulama bathiniah Ahmad an-Naisabury berkomentar mengenai kepribadian dan keistimewaan imam Ali bin Abi Thalib: “ dan membaur di dalam zatnya (Ali) kekuatan para nabi, orang-orang yang sempurna, dan orang-orang yang bijaksana. Hal ini juga ditambah dengan berbagai perkara yang mereka tidak dapat memperolehnya. Dan seandainya dia tidak menempati posisi yang suci ini niscaya ilmu dan hukum mereka tidak sempurna, dapat kekal sepanjang masa. Dan semua unsur jasmani, rohani, dan bumi telah menyatu dengan amirul mukminin (Ali), dan semua ini diciptakan untuknya”[45].
Sedangkan ulama bathiniah yang lain yaitu Idris Imaduddin berkata mengenai keistimewaan imamah: “ sesungguhnya imamah adalah penyatuan jiwa-jiwa yang mulia, yang tinggi, yang agung, yang telah dididik dengan berbagai amal perbuatan yang mulia, dan telah diciptakan berbagai akhlak yang mulia secara alami, dan diwarnai dengan warna rohani yang mulia, dan berintisarikan ilmu-ilmu yang lembut dan hakiki”[46].
Dari sini, kita dapati Ibnu Hani al-Andalusi menggambarkan kepada kita ide mengenai imamah dan pemahamannya secara umum menurut isma’iliyah bathiniah dalam sebuah syair:
Apa yang engkau kehendaki adalah apa yang dikehendaki oleh takdir
Maka engkaulah yang memutuskan karena engkau adalah yang esa lagi berkuasa
Di sini Ibnu Hani manakala memuji imam al-Mu’izz al-Fathimi dia ambil dua nama dari nama Allah yang utama, yaitu esa dan berkuasa. Dan dia tidak berikan sama sekali nama yang memberikan makna ciptaan.
Kemudian, Ibnu Hani kembali memberikan imam sifat risalah yang diwarisinya dari Nabi saw dengan ucapan syairnya:
Dan seakan-akan kamu adalah Nabi Muhammad
Dan seakan-akan pendukung kamu adalah pendukungnya[47].
Menurut DR. Musthafa Ghalib yang merupakan seorang penganut isma’iliyah bathiniah modern, ungkapan Ibnu Hani ini adalah ungkapan yang paling tepat[48].
Di antara karakteristik teori imamah menurut isma’iliyah bathiniah yang tidak kita temui pada aliran Syiah yang lainnya adalah keyakinan mereka bahwa sejarah dakwah mereka sudah lama, yaitu berwujud semenjak adanya makhluk hidup di dunia ini. Oleh karena itu, silsilah imamah menurut mereka tidak hanya bersumber dari Isma’il bin Ja’far saja, akan tetapi berakar kepada masa ketika dimulainya penciptaan makhluk hidup. Mereka berkata: sesungguhnya imamah dimulai dari semenjak dimulainya kehidupan manusia, maka Adam as adalah imam yang pertama. Dan dasar serta pewasiatnya adalah seseorang yang bernama Hunaid. Dan masanya dinamakan sebagai masa pembentukan yang berjalan selama dua ribu delapan puluh tahun empat bulan dan lima belas hari.
Dan berakhir sampai munculnya imam al-Muntazhar (yang ditunggu) yang masanya dinamakan sebagai masa yang ketujuh[49].
Isma’iliyah bathiniah juga memiliki karakteristik yang membedakannya dengan aliran Syiah yang lainnya dengan pendapat mereka bahwa Islam dibangun berdasarkan oleh tujuh fondasi, yang tanpa ketujuh fondasi ini seorang manusia tidak dapat dikatakan sebagai orang Islam dan beriman. Hal ini dipaparkan oleh al-Qadhi an-Nu’man al-Bathini yang berdasarkan kepada riwayat Abu Ja’far as, sesungguhnya dia berkata: Islam dibina berdasarkan tujuh fondasi: wilayah, yang merupakan fondasi yang paling utama. Dan wilayah dan wali ini adalah jalan untuk mencapai ma’rifah. Kemudian, thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, dan jihad[50].
Sedangkan Syiah imamiah berpendapat bahwa Islam dibina berdasarkan lima fondasi, yaitu: shalat, zakat, puasa, haji, dan wilayah. Disebutkan di dalam al-Kulaini al-Imami dengan sanadnya dari Abu Ja’far as, dia berkata: “ Islam dibina berdasarkan lima fondasi: shalat, zakat, puasa, haji, dan wilayah. Dan tidak ada yang dapat menandingi seruan terhadap wilayah”[51]. Juga diriwayatkan darinya: “ Islam dibina berdasarkan lima fondasi: shalat, zakat, haji puasa, dan wilayah, Zararah berkata: maka aku berkata: di antara lima perkara ini manakah yang paling utama? Dia menjawab: yang paling utama adalah wilayah karena dia adalah kunci ke semua perkara ini, dan wali adalah yang menjadi petunjuk bagi ke semua perkara ini”[52].
Meskipun begitu, maka sesungguhnya imamiah dan isma’iliyah bathiniah –sebagaimana yang dipaparkan oleh nash-nash ajaran mereka- sepakat bahwa wilayah adalah perkara yang paling utama di antara kelima perkara ini.
Kemudian, isma’iliyah bathiniah berbeda pendapat dengan aliran Syiah yang lainnya pada perkara bahwa imamah terbagi kepada dua jenis. Yang pertama: imam mustaqirr (imam permanen), dan yang kedua: imam mustawda’ (imam sementara). Berkaitan dengan hal ini al-Qadhi an-Nu’man al-Bathini berkata: “imam permanen tidak seperti imam sementara, sebagaimana wakil tidak sama dengan yang mewakilkan, juga sebagaimana pemegang wasiat tidak sama dengan yang mewasiatkan, dia tidak memiliki kekuasaan untuk memberikan kepada orang lain sesuatu yang berada di kedua tangannya, dan dia juga tidak boleh menyerahkan tanggung jawabnya kepada orang lain”[53].
Jadi, imam permanen adalah imam yang memiliki kekuasaan tersendiri untuk mewariskan imamah atau kepimpinan kepada anak-anaknya (generasi selanjutnya). Dan dia tidak akan melakukan kesalahan dalam kondisi apapun, karena dia memiliki sifat ma’shum secara alami. Sedangkan imam sementara adalah yang menyerahkan berbagai perkara imamah dalam berbagai kondisi pengecualian yang sulit sebagai wakil dari imam permanen. Dia juga memiliki kekuasaan seperti imam permanen, akan tetapi dia tidak memiliki hak untuk mewariskan imamah. Dan dia memiliki sifat ma’shum yang diperolehi karena kedudukannya. Nama julukan yang diberikan kepadanya adalah na`ib ghaibah atau wakil dari imam yang ghaib (menghilang). Dan manakala para imam menjalani fase persembunyian akibat takut dari musuh-musuh mereka -yakni sebelum mereka mampu mendirikan suatu negara-, maka mereka melantik imam-imam sementara untuk mengaburi mata musuh mereka sekaligus menutupi imam yang sesungguhnya. Jadi jika seperti ini keadaannya, maka dalam semua masa Syiah isma’iliyah bathiniah selalu mampu memiliki seorang imam, baik imam permanen ataupun imam sementara[54].
Seorang orientalis bernama Bernard Lewis memberikan julukan “imam al-Hafizh” kepada imam sementara. Karena dengan kepercayaan seperti ini sebagian ulama Bathiniyah memakai julukan imam dan melaksanakan berbagai tugasnya. Atau imam yang sebenarnya terus tersembunyi, agar mereka dapat mengatur pergerakan dan mengalihkan opini umum, sehingga imam permanen terlepas dari bahaya[55].
Inilah uraian mengenai pendapat Syiah isma’iliyah bathiniah terhadap imamah. Oleh karena itu, jika kita perhatikan secara cermat maka kita dapati dalam ideologi Syiah imamiyah dan Isma’iliyah, bahwa walaupun mereka memiliki berbagai perbedaan sumber akan tetapi mereka memiliki tujuan yang satu, yaitu hanya mengonsentrasikan loyalitas yang mutlak kepada imam mutlak. Maka hanya sang imam sajalah yang menjadi hasil akhir bagi semua pendahuluan dan poros yang berputar di sekelilingnya berbagai pemahaman agama dan dalil-dalil akidah. Dia adalah kekuasaan yang paling tinggi, dan sumber semua undang-undang, atau peraturan, atau syariat.
Dari sini, sangat jelas –khususnya Syiah isma’iliyah- bahwa tidak ada keraguan bahwa imam dianggap sebagai poros utama yang di sekelilingnya berputar semua permasalahan agama, baik akidah ataupun syariah. Akan tetapi, mereka tidak mengumumkan secara terang-terangan akidah mereka ini, bahkan akidah ini mereka rumuskan dalam bentuk simbol-simbol rahasia berdasarkan kepada teori zahir dan batin, sebagai tirai untuk mencapai apa yang diisyaratkan oleh simbol-simbol tersebut.
Pada kesimpulannya, Syiah berpandangan bahwa kepemimpinan adalah salah satu keperluan mendasar dalam kehidupan umat manusia. Dan keperluan ini tidak dapat diabaikan dalam situasi, kondisi dan keadaan apapun. Dengan kepimpinan (imamah), tatanan dunia dan agama yang bengkok dapat diluruskan. Keadilan yang telah dicanangkan oleh Allah akan terealisasi di muka bumi ini, stabilitas rakyat dan ketenteraman mereka akan terus terwujud, berbagai kesulitan dan bencana akan dapat diatasi, dan kezaliman orang yang kuat atas orang yang lemah dapat dicegah.
Dengan demikian, sebagai asas pemikiran politik Syiah, mereka meyakini bahwa kebijaksanaan sang Pencipta alam (al-Hikmah al-Ilahiyah) menuntut perlunya pengutusan para Rasul untuk membina, membimbing dan mengarahkan umat manusia. Demikian pula halnya mengenai imamah, yakni bahwa kebijaksanaan Allah Swt juga menuntut kehadiran seorang imam sesudah wafatnya Rasulullah Saw guna terus dapat membimbing umat ke jalan yang benar, lurus, (shiratul mustaqim) atau dengan kata lain seorang imam akan memelihara kemurnian agama dari penyimpangan dan perubahan. (dakwatuna.com/hdn)
— Bersambung…
Catatan Kaki:
[1] Al-Muqbili, al-Ilmi asy-Syamikh, hal 11.
[2] Al-Iiji, Kitab al-Mawaqif, 3/574, 79.
[3] Lih, al-Qasim bin Muhammad, Kitab al-Asas li’Aqa`id al-Akyas, hal 159.
[4] Asy-Syaikh al-Mufid, 1371 H, Awa`il al-Maqalat, hal 64.
[5] Al-Iyani, al-Husain al-Qasim, al-Mu’jiz, hal 241.
[6] Ahmad bin al-Hasan ar-Rashshash, al-Khulashah an-Nafi’ah, hal 218.
[7] Humaidan bin Yahya, at-Tashrih bil-Mazhab ash-Shahih, hal 209.
[8] Lih, al-Maw’izhah al-Hasanah, hal 107.
[9] Dia adalah Jamaluddin Yusuf bin al-Hasan bin Ali yang mempunyai julukan Ibnu al-Muthahhir al-Hully, seorang syaikh dan ahli fiqh syia’ah imamiyah. Dia lahir di kota al-Hullah, yang merupakan sebuah kota besar yang terletak di antara Kufah dan Bagdad.
[10] Lih, hal 27, 1379 H, Mu`assasah ‘Asyura lit-Tahqiqat wal-Buhuts al-Isma’iliyyah, Qum-Iran.
[11] Al-Muzhaffar, Muhammad Ridha, ‘Aqa`id al-Imamiyyah, hal 65.
[12] Ar-Risalah al-Kafiyah, hal 181.
[13] Musthafa Helmi, 1988M, Nizham al-Khilafah Bayna Ahli as-Sunnah wasy-Syi’ah, hal 153, Dar ad-Da’wah, Iskandariah-Mesir.
[14] Dia adalah Imam an-Nashir Lidinillah Ahmad bin al-Imam al-Hadi Ilal-Haqq Yahya bin al-Husain bin al-Qasim bin Ibrahim bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Hasan bin al-Hasan as-Sabth bin Ali bin Ali bin Abi Thalib, salah seorang imam Zaidiyah, wafat di Sha’dah, tahun 325 H.
[15] Ahmad bin Yahya al-Husain, 2001 M, Kitab an-Najah, hal 167, Kairo.
[16] Nasywan al-Humairi, Syarh Risalah al-Hur al-‘Ain, hal 154.
[17] Asy-Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, 1/146.
[18] Hadits ini telah ditakhrij pada halaman yang sebelumnya.
[19] Yahya bin Hamzah, ‘Aqd al-La`ali Fi ar-Raddi ‘Ala Abi Hamid al-Ghazali, hal 53.
[20] Lih, al-Qasim ar-Rassi, Tatsbit al-Imamah, hal 40.
[21] Beliau adalah Profesor jurusan akidah dan filsafat, fakultas Darul Ulum, Universitas Kairo, dan mantan rektor IIU Islamabad-Pakistan.
[22] Lih, Hasan asy-Syafi’I, al-Madkhal Ila Dirasat Ilmi al-Kalam, hal 102-103.
[23] Muhammad Abdullah Annan, 1083 M, al-Hakim Biamrillah wa-Asraru ad-Da’wati al-fathimiyyah, hal 34, Maktabah al-Khanji, Kairo.
[24] Subhi, Mahmud Subhi Ahmad, Nazhariyyatu al-Imamah Laday al-Itsna ‘Asyariyyah, hal 405.
[25] Ad-Da’i Abu Ya’qub as-Sajastani, Kitab al-Iftikhar, hal 68.
[26] Hamiduddin al-Karamani, al-Mashabih Fi Itsbat al-Imamah, hal 106.
[27] Lih, Mukaddimah Kitab Itsbat al-Imamah, hal 13-14.
[28] Ahmad an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 27.
[29] Ahmad an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 71.
[30] Ya’qub bin Kullais, ar-Risalah al-Mazhabiyyah, hal 142.
[31] As-Sajastani, Abu Ya’qub, Kitab al-Iftikhar, hal 71.
[32] Kitab al-Iftikhar, hal 70.
[33] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, bab Da’aim al-Islam, 2/54.
[34] Lihat, ad-Da’i Hasan bin Nuh, Majmu’ah at-Tarbiyyah, hal 239.
Hadits ini diriwayatkan oleh ak-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, bab Da’aim al-Islam, 2/45. Juga Muslim dalam sahih-nya, Kitab al-Imarah, bab “al-Imam”, no 1851, datang dengan lafaz:
( مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بِيْعَةً مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً)
“barang siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan pada hari kiamat dia akan berjumpa dengan Allah tanpa memiliki hujjah, dan barang siapa yang mati tanpa melakukan bay’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”. Juga diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawa`id, 5/218, dan dalam satu riwayat:
( مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فيِ عُنُقِهِ بِيْعَةً مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً)
“barang siapa mati tidak melakukan bay’at maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”. Sanad kedua hadits ini dha’if. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, 19/388, no 910, dari Mu’awiyah dengan lafaz:
(مَنْ مَاتَ بِغَيْرِ إِمَامٍ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً)
“barang siapa mati tanpa ada seorang imam maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”
[35] Ad-Da’i Ahmad Hamiduddin al-Karamani, 1416 H-1996 M, al-Mashabih Fi Itsbat al-Imamah, hal 66.
[36] Lih, Aqa`id al-Imamiyyah, hal 66.
[37] Ushul al-Kafi, bab “Annal ardha la takhlu min hujjah”, 1/201.
[38] Al-Muzhaffar Muhammad Ridha, Aqa`id al-Imamiyyah, hal 66.
[39] Asy-Syaikh Ja’far Subhani, Kitab Buhuts Fi al-Milal wan-Nihal, 8/223.
[40] Al-Qadhi an-Nu’man bin Muhammad, al-Himmah Fi Aadab Atba’ al-A’immah, 45.
[41] Lih, Musthafa Ghalib, al-Imamah wa Qa`im al-Qiyamah, hal 148.
[42] Al-Majalis al-Mu`ayyadiyyah, hal 258.
[43] Ad-Da’I Ahmad an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 28.
[44] Lih, Zahr Budzr al-Haqa`iq, hal 170-171.
[45] Ad-Da’i Ahmad an-Naisaburi, Kitab Itsbat al-Imamah, hal 85.
[46] Ad-Da’i Idris Imaduddin, Kitab Zahrul Ma’ani, hal 274.
[47] Diwan Ibnu Hani, hal 146, cetakan Beirut.
[48] Lih, Mukaddimah kitab Itsbat al-Imamah, hal 18.
[49] Lih, Sara`ir wa Asrar an-Nuthaqa, ad-Da’I Ja’far bin Manshur al-Yamani, hal 72.
[50] Al-Qadhi an-Nu’man, Da’a`im al-Islam, ½.
[51] Al-Kulaini, Ushul al-Kafi, Bab Da’a`im al-Islam, 2/42.
[52] Al-Kulaini, Ushul al-Kafi, Bab Da’a`im al-Islam, 2/43.
[53] Al-Qadhi an-Nu’man, Kitab al-Majalis wal-Musayarat, hal 411.
[54] Patut untuk disebutkan di sini, bahwa isma’iliyah telah menerapkan sistem ini pada Hasan bin Ali. Mereka anggap dia imam sementara sebagai wakil dari imam permanen, yaitu Husain bin Ali. Lih, al-Wazir Ya’qub bin Kallas, ar-Risalah al-Mazdhabiyyah, hal 143.
[55] Lois Bernard, Ushul al-Isma’iliyyah, hal 94.
Sumber: https://www.dakwatuna.com/2016/12/29/84501/imam-mahdi-perspektif-aliran-aliran-syiah-bagian-1/
Comments
Post a Comment