Imam Mahdi Menurut Pandangan Syiah (Bagian 2)



Kepercayaan syiah imamiyah tentang imam mahdi yang gaib (menghilang) ternyata dipenuhi kesimpangsiuran dan ketidakjelasan. Kondisi dan situasi itu diabadikan oleh salah satu ulama Syiah dan pakar sejarah Syiah pada abad ke-3 Hijri, yaitu imam Al-Hasan bin Musa al-Nawbakhti, dalam kitabnya yang terkenal “Firaq al-Shia”. Baginya perkara ini sebenarnya telah membingungkan pengikut syiah bermula sejak wafatnya imam Ali RA. Perbedaan selalu muncul dan bertambah parah setiap kali seorang imam Syiah wafat, bahkan perbedaan tersebut terus menerus terjadi setelah wafatnya imam ke-11.

Setelah imam ke-11 wafat, puak Syiah terus terpecah-belah menjadi 14 kelompok. Ada kelompok yang percaya dia hidup lalu ghaib (menghilang), ada yang percaya dia wafat kemudian hidup lagi lalu ghaib, ada yang percaya dia memiliki anak yang kemudian ghaib, ada yang percaya imamah berhenti sementara dan kepercayaan berbeda-beda antara satu dengan  lainnya.
Beberapa abad kemudian, lewat kekuasaan Dinasti Syiah Safawiyah, barulah kepercayaan tentang imam Mahdi berhasil mendominasi dunia syiah.

Berikut senarai nama-nama yang dijadikan imam Mahdi oleh golongan-golongan syiah secara keseluruhan:
Ali bin Abi Talib.
Muhammad bin al Hanafiyyah.
Abdullah bin Muhammad bin al Hanafiyya (Abu Hasyim).
Abdullah bin Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Talib (ditunjuk oleh Abu Hasyim).
Muhammad bin Abdullah bin al Hasan (al-Mutsanna) bin al Hasan bin Ali bin Abi Talib (dikenal dengan gelaran al-Nafs al-Zakiyyah)
Ja’far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir.
Ismail bin Ja’far al-Sadiq.
Muhammad bin Ismail bin Ja’far al Sadiq.
Musa al-Kazim bin Ja’far al-Sadiq.
Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa.
Hasan bin Ali al-Askari.
Muhammad bin Hasal al-Askari.

Inilah deretan nama-nama imam Mahdi dalam golongan-golongan syiah yang diyakini secara amnya.
Oleh karena itu, sebaiknya sebelum memaparkan detail pandangan Syiah Imamiah tentang imam Mahdi, maka penting untuk kita ketahui, bahwa banyak kelompok syiah yang mengklaim kewujudan imam Mahdi dalam berbagai golongannya sepanjang sejarah. Dan klaim kewujudan imam Mahdi ini mendapatkan respon yang baik di dalam kalangan pengikut masing-masing golongan, sehingga tidak jarang dengan ta’assub masing-masing golongan saling bermusuhan antara satu sama lain, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya pertumpahan darah antara mereka yang mengklaim bahwa imam Mahdi ini wujud pada golongan mereka sahaja.

Di antara golongan-golongan dan gerakan-gerakan Syiah yang mengklaim imam Mahdi dalam kepercayaannya adalah sebagai berikut:

1. Syiah Sabaiyyah dan Imam Mahdi:
Adalah pengikut Abdullah bin Saba`, mereka melampau dan keterlaluan, yang berlebih-lebihan mempercayai bahwa Nabi Muhammad akan kembali ke dunia seperti Nabi Isa as. Kemudian mereka juga meyakini bahwa Ali belum mati tetapi beliau bersembunyi dan akan lahir kembali sebagai imam Mahdi. Dan mereka juga meyakini bahwa Jibril keliru dalam menyampaikan wahyu, mestinya Jibril menurunkan wahyu kepada Ali bukan kepada Nabi Muhammad. Dan  mereka juga meyakini bahwa ruh Tuhan turun kepada Ali[1].

2. Syiah Kaisaniyyah dan Imam Mahdi:
Adalah Syiah pengikut Mukhtar bin Ubai al-Saqafi. Golongan inipun digolongkan sebagai syiah yang ekstrem (Ghulat). Pendiri kelompok Kaissaniyah adalah Kisan, seorang mantan pelayan Ali. Kisan disebutkan pernah belajar kepada Muhammad Ibn Hanafiyyah, karena itu ilmu pengetahuannya mencakup segala macam pengetahuan, baik pengetahuan takwil (tafsir) maupun pengetahuan batin, baik pengetahuan yang fisik maupun pengetahuan non-fisik. Mereka sependapat bahwa agama merupakan ketaatan kepada pemimpin (Imam), karena para Imam dapat menafsirkan ajaran-ajaran pokok agama seperti shalat, puasa, dan haji. Bahkan sebahagian dari mereka ada yang meninggalkan perintah agama dan merasa cukup hanya dengan menaati para Imam. Sebagian lagi kelihatannya lemah dalam hal keyakinannya terhadap adanya hari kiamat dan sebagian yang lain menganut aliran hulul (roh ketuhanan masuk ke dalam tubuh manusia), tanasukh (roh berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain). Dan Raj’ah (hidup kembali di dunia juga setelah mati), sebagian lagi berpendapat imam tertentu tidak mati (ghaib) dan dia akan kembali lagi ke dunia sebagai imam Mahdi, baru mati setelah itu. Kendatipun demikian, mereka sepakat bahwa agama merupakan ketaatan kepada Imam, dan barang siapa yang tidak taat kepada Imam berarti dia bukanlah orang yang beragama[2]. Ada beberapa pengikut Kaisaniyyah berpendapat lain bahwa justru Abdullah bin Mu’awiah bin Ja’far bin Abi Talib yang menjadi imam Mahdi[3].

3. Syiah Mukhtariyyah dan Imam Mahdi.
Adalah kelompok Syiah yang mengikuti ajaran Mukhtar ibn Abi Ubaid Al-Tsaqafi. Pada mulanya Mukhtar sebagai seorang Khawarij, kemudian berubah menjadi pengikut Al- Zubairiyyah dan akhirnya menjadi pengikut Syiah dan Al-Kaisaniyyah. Dia mengakui kepimpinan (Imamah) Muhammad bin Hanafiyyah sesudah Ali bin Abi Thalib, bahkan sebelum Muhammad adalah Hasan dan Husain. Mukhtar mengajak masyarakat agar menerima pendapatnya, dan mengakui bahwa dirinya memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Ketika berita tentang dirinya dan ajarannya tersebar, Muhammad bin Hanafiyyah tidak mengakui semua yang telah dia katakan dan ajarkan, namun banyak juga orang awam yang tertarik menjadi pengikutnya.
Dasar-dasar ajarannya terdiri dari dua hal :1. Menyandarkan ilmu dan dakwahnya kepada Muhammad ibn Hanafiyyah;  2. Balas dendam atas kematian Husain ibn Ali.

Karena itu dia dan para pengikutnya siang dan malam berjuang memerangi orang yang menurut mereka ikut terlibat dalam pembunuhan Husain ibn Ali. Di antara ajaran Mukhtar bin Ali Ubaid Al-Tsaqafi, bahwa Allah bersifat Al-Bada’ atau dengan kata lain bahwa Allah telah memulakan satu ketentuan baru setelah ketentuan awal gagal dilaksanakan. Oleh karena itu di sini ada kesan bahwa ilmu Allah didahului dengan sifat jahil dan berlaku perkara baharu dalam ilmu-Nya (Keyakinan ini juga terdapat dalam syiah Imamiah Itsna ‘Asyariah([4])  . Menurut para pengikutnya, Mukhtar mempunyai kursi kuno yang ditutup dengan kain sutera dan dihiasi dengan berbagai macam hiasan.

Katanya, kursi itu adalah di antara peninggalan Ali dan kedudukannya sama dengan Tabut bagi Bani Israil. Apabila Bani Israil berperang, tabut itu diletakkan di depan barisan seraya dengan teriakan: serbu, kita akan memperoleh kemenangan, Kursi ini sama dengan tabut milik Bani Israil yang di dalamnya terdapat ketenangan dan kekekalan; para Malaikat berada di atas kamu yang akan membantu kamu. Cerita lain tentang keramatnya adalah seekor burung dara yang bertelur di udara, yang katanya barang dara itu adalah malaikat yang turun dalam rupa burung dan bertelur. Salah seorang pengikutnya yang setia, Al-Asyja, telah menulis sebuah buku tentang keramat Mukhtar.

Mukhtar sengaja menyandarkan ajarannya kepada Muhammad ibn Hanafiyyah agar banyak orang  yang tertarik. Karena Muhammad ibn Hanafiyyah adalah orang yang sangat dikagumi dan dicintai masyarakat disebabkan oleh ilmu pengetahuannya yang luas, ketinggian ma’rifahnya terhadap Allah, mempunyai pemikiran-pemikiran yang cemerlang, dan tahu tentang kelebihan ilmu pengetahuannya. Namun ia sendiri lebih senang menyendiri dan tidak senang disanjung dan dipuji. Menurut sebagian orang, Muhammad Hanafiyyah memiliki ilmu pengetahuan tentang imamah, karenanya dia tidak akan menyerahkan amanat itu terkecuali kepada orang yang berhak. Dia tidak diwafatkan melainkan di tempat yang layak([5])  . Mereka mempercayai bahwa Muhammad Hanafiyyah merupakan imam Mahdi yang akan turun di akhir zaman untuk membunuh Dajjal dan memberi hidayah dan meluruskan kesesatan-kesesatan seluruh umat manusia serta membetulkan bumi yang rusak[6].

4. Syiah Hashimiyyah dan Imam Mahdi.
Adalah pengikut Abu Hasyim ibn Muhammad ibn Hanafiyyah. Menurut kelompok ini, kepimpinan berpindah dari Muhammad ibn Hanafiyyah kepada putranya yang bernama Abu Hasyim. Menurut mereka, Abu Hasyim telah menerima pelimpahan ilmu rahasia; dia mengetahui bukan saja kepada zahir, tetapi juga yang batin. Dia mengetahui tafsir dan takwil ayat-ayat Al Quran, sehingga maknanya dapat disesuaikan antara yang lahir dan batin. Mereka berpendapat, setiap yang lahir ada batinnya, setiap orang yang mempunyai roh, setiap ayat ada takwilnya, setiap apa yang ada di alam semesta ini ada hakikatnya pada alam lain. Hukum tersebar di seluruh penjuru, rahasia semuanya ada pada diri seseorang, yaitu ilmu yang dimiliki oleh imam Ali dan keturunannya, Muhammad Hanafiyyah. Dari dia ilmu itu dilimpahkan kepada putranya Abu Hasyim, dan barang siapa yang memiliki ilmu itu maka dia adalah Imam yang benar.

Sepeninggal Abu Hasyim, para pengikutnya berbeda pendapat, akibatnya muncul lima kelompok kecil:
– Kelompok Pertama: Mengatakan bahwa Abu Hasyim memang meninggal dalam perjalanan dari negeri Syam di sebuah desa yang bernama Al-Syarrah. Abu Hasyim telah memberikan wasiat tentang kepimpinan (Imamah) kepada putranya, Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas dan keturunannya, bahwa kekhalifahan berpindah kepada Bani Abbasiah. Menurut kelompok ini, kekhalifahan di tangan mereka karena mereka berasal dari satu keturunan. Rasulullah wafat (tidak meninggalkan anak laki-laki), maka yang menjadi ahli warisnya adalah pamannya Abbas.
– Kelompok Kedua: Mengatakan bahwa Imamah sesudah Abu Hasyim berpindah kepada keponakannya yang bernama Al Hasan ibn Ali ibn Muhammad Hanafiyyah.
– Kelompok Ketiga: Mengatakan bahwa kepimpinan (Imamah) tidak berpindah kepada keponakannya Al-Hasan, tetapi diwasiatkan kepada saudaranya yang bernama Ali bin Muhammad, kemudian Ali mewasiatkan lagi kepada putranya Al-Hasan. Menurut kelompok ini, Imamah hanya pada keturunan Bani Hanafiyyah tidak boleh orang lain.
– Kelompok Keempat: Mengatakan bahwa Abu Hasyim mewasiatkan imamah kepada “Abdullah bin Amr bin Al Kindi”. Imamah berpindah dari keturunan Abu Hasyim kepada keturunan Abdullah, karena roh Abu Hasyim berpindah kepadanya.  Abdullah adalah seorang yang tidak dikenal wawasan ilmunya, dan pengamalan ajaran agamanya, karena sebahagian orang menuduhnya telah berkhianat dan berdusta. Orang banyak berpaling darinya, dan mengatakan imamah berada di tangan Abdullah bin Mua’wiyah bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib.

Menurut Abdullah roh dapat berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lainnya (tanasukh), dosa dan pahala berada dalam tubuh orang yang berbuat,  apakah tubuh tersebut dalam bentuk tubuh manusia atau binatang. Ia berkata: roh Tuhan berpindah-pindah sehingga sampai kepadanya dan masuk ke dalam tubuhnya (hulul). Ia mengaku dirinya mempunyai sifat ketuhanan dan kenabian dan mengetahui yang ghaib. Sehingga para pengikutnya menyembahnya. Mereka mengingkari adanya hari kiamat disebabkan oleh adanya teori bahwa roh berpindah-pindah dari satu tubuh ke tubuh yang lainnya di dunia, dan pahala serta dosa menjadi tanggung jawab tubuh-tubuh itu. Dan ia menakwilkan ayat:
Dari kelompok ini lahir lagi kelompok-kelompok kecil “Al-Khurramiyah dan Al Muzdakiyyah di Irak. Dan ketika Abdullah tewas di Khurasan, para pengikutnya berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa ia masih hidup (ghaib) dan akan kembali sebagai imam Mahdi, ada pula yang mengatakan ia memang meninggal, namun rohnya berpindah kepada tubuh Ishak bin Zaid Al-Harits Al-Anshari. Kelompok ini dikenal dengan nama Al-Harithiyyah, yang menghalalkan semua yang diharamkan (Islam), dan dalam kehidupan ini tidak ada kewajiban (ibadah). Antara pengikut Abdullah bin Muawiyah dan pengikut Muhammad bin Ali terjadi perselisihan yang sangat tajam tentang Imamah.  Meskipun kedua kelompok masing-masing mengaku telah menerima wasiat dari Abu Hasyim namun wasiat dimaksud ditolak oleh kelompok lainnya([7]). 

5. Syiah Zaidiyah dan Imam Mahdi.
Salah seorang ulama Syiah Zaidiyah Imam Yahya bin Hamzah ‘Alawi (w. 749 H) mendefinisikan Syiah Zaidiyah sebagai: “Setiap golongan memiliki doktrin yang dibawa oleh pemimpin masing-masing. Adapun istilah Zaidiyah muncul setelah era Imam Zaid bin Ali bin al-Husain. Semenjak itulah Zaidiyah dikenal sebagai salah satu aliran Syiah yang mengatasnamakan nama pemimpinnya” [8]. Jelas dari teks di atas penamaan Syiah Zaidiyah dikaitkan dengan Imam Zaid bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, dan Zaidiyah merupakan salah satu kelompok Syiah terbesar selain Syiah Imamiyah dan Syiah Isma’iliyah yang masih eksis sampai saat ini. Imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha (w. 840 H) dalam kitabnya yang terkenal “al-Bahru az-Zahhar” menegaskan, bahwa ada tiga golongan besar Syiah, yaitu: Zaidiyah, Imamiyah dan Isma’ilyah (di kenal dengan Syiah Bathiniyah). Sumber-sumber sejarah dan kitab-kitab klasik yang membahas tentang aliran-aliran Islam menjelaskan bahwa sebenarnya sejarah kemunculan Zaidiyah ditandai ketika Imam Zaid melancarkan revolusi melawan pemerintahan Bani Umayyah, yang didukung oleh lima belas ribu pasukan berasal dari penduduk Kufah di Iraq, di mana hal serupa dilakukan sebelumnya oleh kakek Imam Zaid yaitu imam Hussein bin Ali bin Abi Talib, dan mengalami kegagalan fatal dalam pertempuran di kota Karbala, dengan menewaskan 61 tentara Imam Hussein bin Ali. Namun selanjutnya Imam Zaid tidak menerima kegagalan tersebut, justru ia bersikeras untuk meneruskan revolusi kakeknya dan terus menerus memerangi Bani Umayyah sampai titik darah penghabisan. Maka ia dan bala tentaranya meninggalkan kota Kufah menuju tempat kekuasaan gubernur (Yusuf bin Umar Al-Thsaqafi) yang merupakan agen kepala negara ketika itu (Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan) yang berkuasa dari tahun 105 sampai tahun 125 Hijriyah[9].

Syiah Zaidiyah sepakat bahwa, imam Mahdi akan datang dan muncul untuk menghilangkan kezaliman-kezaliman dan segala bentuk penindasan yang terjadi di dunia di saat-saat akhir zaman, oleh karena itu ia bukan mitos tetapi sebuah hakikat yang akan dilalui sebelum terjadi hari kiamat kelak, dan bagi pandangan mereka -Syiah Zaidiyah- sebenarnya sama dengan pandangan Ahli Sunnah bahwa Rasulullah saw tidak pernah menentukan siapakah yang akan menjadi imam Mahdi, sebab Rasulullah saw hanya menggambarkan bahwa imam Mahdi berasal dari keturunan putri tercinta Rasulullah saw yaitu Fatimah al-Zahra, sama halnya dari garis Hasan ataupun Husein, nama imam Mahdi sama dengan nama Rasulullah saw, begitupun nama ayahnya sama dengan nama ayah Nabi saw, jadi nama lengkapnya imam Mahdi adalah “Muhammad bin Abdullah”. Oleh karena itu bagi syiah Zaidiyah imam Mahdi bukanlah seorang yang menghilang dan ditunggu-tunggu datang kembali “Al-Ghaib AL-Muntazar” sebagaimana kepercayaan syiah Imamiah, dalam sebuah kitab syiah Zaidiyah bertajuk “AL-Amaali AL-Khumaisiyyah” dinukilkan ucapan imam Zaid bahwa:

اَلْمَهْدِيُّ حَقٌ، وَهُوَ كَائِنٌ مِنَّا أَهْلُ الْبَيْتِ … إِمَامٌ لَكُمْ وَحُجَّةٌ عَلَيْكُمْ فَاتَّبِعُوْهُ تَهتَدُوْا.

“Imam Mahdi adalah sungguh kedatangannya, ia berasal dari kalangan Ahlul Bait (keturunan Nabi saw) … ia adalah pemimpin dan panutan kalian, oleh karena itu ikutilah dia niscaya kalian akan mendapat petunjuk” [10].
Sebuah kisah perbualan antara Abu Khalid Al-Wasitiy dengan imam Zaid bahwa:

قَالَ أبوْ خَالدِ الْوَاسِطِيِّ سَأَلْنَا زَيْدَ بْنِ عَلِيٍّ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ عَنِ الْمَهْدِي أَكَائِنٌ هُوَ؟ فقَال: نَعَمْ، فَقِيْلَ لَهُ: أمِنْ ولَدِ الْحَسَنِ أَمْ مِنْ وَلَدِ الْحُسَيْن؟ فَقَالَ زَيْدٌ عَلَيْهِ السَّلاَمُ: “أَمَّا أَنَّهُ مِنْ ولَدِ فَاطِمَة صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهَا، وَهُوَ كَائِنٌ مِمَّنْ شَاءَ اللهُ مِنْ وَلَدِ الحَسَنِ، أَمْ مِنْ وَلَدِ الحُسَيْنِ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِمْ”.

Abu Khalid Al-Wasitiy: kami bertanya kepada imam Zaid bin Ali as tentang kewujudan imam Mahdi dan siapakah ia sebenarnya?, imam Zaid menjawab: betul imam Mahdi akan muncul, ditanya kembali: apakah berasal dari keturunan Hasan atau Husein?, imam Zaid berkata: “imam Mahdi berasal dari keturunan Fatimah sama halnya dari keturunan anak Hasan dan Husein” [11].
Di tempat lain, dijelaskan dalam kitab “Al-‘Iqdu Al-Tsamin” bahwa:

قَالَ الإِمَامُ اَلْمَنْصُوْرْ بِاللهِ عَبْدُاللهِ بْنْ حَمْزَة: قَالَ الإِمَامُ عَبْدُ اللهِ بِنْ حَمْزَة، لَمَّا تَظَاهَرَتِ الرِّوَايَاتُ فيِ هَلْ هُوَ مِنْ أَبْنَاءِ الْحَسَن أَوِ الْحُسَيْن :”وَقَدْ أَجْمَلَ كَثِيْرٌ مِنَ الأَئِمَّةِ عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ فيِ هَذَا الْبَابِ، وَذَكَرُوْا أَنَّ الْمَهْدِي مِنْ وَلَدِ فَاطِمَة عَلَيْهَا السَّلاَمُ، وَلَمْ يَعْنَوْا بِمَا وَرَاءَ ذَلِكَ، وَهَلْ هُوَ مِنْ وَلَدِ الْحَسَن أَوْ مِنْ وَلَدِ الْحُسَيْن عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ، لِأَنَّ الْكُلَّ مَعْدَنُ الإِمَامَةِ وَمَحَلُّ الرِئَاسَةِ وَالزّعَامَةِ”.

Imam Al-Mansur billah mengatakan bahwa Abdullah bin Hamzah menjelaskan tentang kontroversi hakikat imam Mahdi apakah ia berasal dari keturunan Hasan atau dari keturunan Husein”, pada pandangan sebenar adalah para imam-imam syiah Zaidiyah menyebutkan bahwa imam Mahdi adalah berasal dari anak keturunan Fatimah as, dan tidak dinyatakan jelas apakah dari keturunan Hasan ataupun Husein, sebab kedua-duanya adalah sumber kepimpinan Imamah”[12].
Dari ketiga riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa syiah Zaidiyah berpendapat sama dengan Ahli Sunah wal Jamaah bahwa imam Mahdi tidak ghaib, berasal dari keturunan Fatimah, tidak ditentukan seseorang yang mana satu, sama halnya dari anak keturunan Hasan ataupun Husein.
Di samping itu perlu disebutkan di sini bahwa salah satu pecahan syiah Zaidiyah yaitu syiah Al-Jarudiyah (dikenal sebagai syiah Zaidiyah ekstrem), berpendapat lain, mereka meyakini bahwa imam Mahdi telah ditentukan yaitu Muhammad bin Abdullah “Al-Nafs Al-Zakiyah”, yang terbunuh pada tahun 45H.

6. Syiah Ismailiyah dan Imam Mahdi.
Golongan ini merupakan syiah yang ekstrem, sehingga semua golongan Sunni (Asy’ariyah, Maturidiyah), Mu’tazilah dan Ibadhiyah mengkafirkan mereka, bahkan sesama Syiah sendiri, Syiah Imamiyah dan Syiah Zaidiyah ikut mengharamkan dan mengkafirkan golongan tersebut. Pengikutnya dianggarkan berjumlah sekitar 2 juta orang dan berpusat di India. Juga pengikutnya boleh di dapati di sekitar Asia Tengah, Iran, Suriah, Pakistan, Suriah, Lebanon, timur Afrika dan Afrika Selatan. Ismailiyah pernah menjadi kelompok syiah yang paling berpengaruh di antara puak-puak Syiah, dan pernah mencapai puncak kekuasaan politiknya pada masa kekuasaan Kerajaan Fatimiyah pada abad ke 10 hingga ke 12 Masihi.  Penamaan sebagai syiah Ismailiyah diperolehi karena pengikut-pengikutnya memilih Ismail bin Jaafar (101-159 H) sebagai  Imam ke tujuh  dan  terakhir. Itulah sebab kenapa ajaran Ismailiyah dikenali juga sebagai mazhab Saba’iyyah atau tujuh imam.
Ismail meninggal dunia ketika ayahnya Imam Jafar Al-Sadiq masih hidup. Imam Jafar mempersaksikan kepada orang ramai bahwa putranya yang bernama Ismail telah meninggal dunia.

Meskipun demikian, sebahagian orang Syiah meyakini bahwa Ismail tidak meninggal dunia, sebab ayahnya hanya coba mengaburi Khalifah Al-Abbasiyah Manshur Dawaniqi karena khawatir akan membunuh anaknya. Mereka yakin Imam Ismail ghaib dan akan muncul sebagai Imam Mahdi. Ini menyebabkan Imam Jaafar berulang kali menerangkan kepada mereka agar tidak menduga-duga Imam Ismail akan muncul kembali. Ini menyebabkan wujudnya perbedaan pandangan di kalangan kelompok Ismailliyah, yaitu; Mereka yang tidak dapat menerima hakikat dan terlalu taksub kepada Imam Ismail: Mereka tetap dengan pendirian bahwa Imam Ismail tidak mati (ghaib) dan akan muncul semula sebagai Imam Mahdi. Mereka yang percaya kepada kewafatan Imam Ismail: Mereka mendapatkan waris menggantikan Imam Ismail, lalu mengangkat anak kepada Imam Ismail, yaitu Muhammad bin Ismail (141-192 H) menjadi Imam yang baru (ke 7), juga dianggap sebagai Imam Mahdi. Pengikut mazhab Ithna ‘Asyariah, pula mengiktiraf adik kepada Ismail yaitu, Musa al-Kazim sebagai Imam ke tujuh  mereka. Bagaimanapun Ismailiyah menerima keenam-enam Imam Syiah terdahulu sama seperti syiah Ithna ‘Asyariah.

7. Syiah Imamiyah Itsna’Asyariah dan Imam Mahdi.
Sebagaimana maklum bahwa Syiah Imamiah adalah mereka yang mengakui dua belas orang imam, telah didefinisikan sendiri oleh salah seorang ulama Syiah modern yang bernama Muhammad al-Husain al-Muzhaffar bahwa mereka adalah: “orang-orang yang mengakui dua belas imam yang dimulai dari bapak Hasan (imam Ali) sampai kepada  keturunan Hasan”[13]. Teks ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa Syiah imamiah memiliki karakteristik yang berupa pengakuan mengenai keimaman dua belas imam. Syaikh Muhammad Jawwad Mughniah juga menegaskan bahwa: “Itsna asyariyah merupakan  sebuah julukan yang diberikan kepada kelompok Syiah imamiyah yang mengakui keberadaan dua belas imam yang ditentukan melalui nama-nama mereka”[14]. Kedua belas Imam adalah sebagai berikut:
Ali ibn Abi Thalib “al-Murtadha” (w. 40 H/661 M)
Al-Hasan ibn ‘Ali “al-Zaky” (w. 49 H/669 M)
Al-Husain ibn ‘Ali “Sayyid al-Syuhada’” (w. 61 H/680 M)
Ali ibn Al-Husain, Zain Al-Abidin “Zainal ‘Abidin” (w. 95 H/714 M)
Abu Ja’far Muhammad Ali “Al-Baqir” (w. 115 H/733 M)
Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad “Al-Shadiq” (w. 148 H/765 M)
Abu Ibrahim Musa bin Ja’far “Al-Kazhim” (w. 183 H/799 M)
Abu Hasan Ali bin Musa “Al-Ridha” (w. 203 H/818 M)
Abu Ja’far Muhammad bin Ali “al-Jawad” Al-Taqi (w. 220 H/835 M)
Abu Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi”(w. 254H/868 M)
Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali “Al-Askari” (w. 260 H/874 M)
Abu al-Qasim Muhammad bin Hasan “Al-Mahdi”, Al-Qa’im Al-Hujjah (memasuki kegaiban besar pada 329   H/940 M).

Di sebalik Kematian Imam ke Sebelas, yaitu imam Hasan Al-Askari yang bagi -Ahlu Sunnah- ia meninggal tanpa meninggalkan keturunan. Sehingga hal ini menyusahkan tokoh dan ulama Syiah Imamiyah, sebab dalam tradisi kepimpinan imamah Syiah Imamiyah, seorang imam wajib meninggalkan putra sebagai generasi kepimpinan selanjutnya untuk mencukupkan bilangan dua belas imam-imam syiah yang dikenali sebagai (Syiah Al-Itnaa ‘Asyariah). Bahkan kepimpinan ini sebenarnya merupakan kepemimpinan umum ilahiyah, khilafah penerus Rasulullah saw dalam berbagai perkara dunia dan agama, sehingga semua manusia harus menaati sang imam. Dan perbedaan di antara Nabi saw dan imam yaitu, Nabi saw adalah hakim asal untuk manusia pada perkara agama dan dunia mereka secara langsung tanpa ada perantara, sedangkan imam adalah hakim dengan perantara Nabi saw[15]. Jadi imamah dengan dua kekuasaan agama dan dunia ini merupakan suatu jawatan agama yang bersifat Ilahi, sama dengan silsilah kenabian, yang membedakannya dengan Nabi adalah tidak diturunkannya wahyu kepada imam. Oleh karena itu imamah tidak melalui proses pemilihan, dan penetapannya hanya semata-mata berdasarkan ketentuan dari Allah dan Rasulullah saw, atau berdasarkan teks (nash) yang diberikan oleh Rasulullah saw secara turun temurun dari imam yang terdahulu kepada imam yang selanjutnya[16].

Berdasarkan hal ini, maka sesungguhnya hukum-hukum ilahi hanya diperoleh dari sumber para imam, dan pengambilannya hanya sah jika dikeluarkan oleh mereka. Dan tidak ada perselisihan di antara Syiah imamiyah dengan Syiah isma’iliyah pada poin ini[17].

Jadi kalau seorang imam meninggal tanpa meninggalkan seorang pun putra yang akan melanjutkan misi dan perjuangan kepimpinan (imamah) syiah, maka gugurlah kepimpinan imamah tersebut, dan atas sebab ini ulama Syiah Imamiyah berusaha menutupi kemusykilan kepimpinan setelah meninggalnya imam yang ke dua belas yaitu imam Hasan Al-Askari. Sebab apapun halnya, imamah wajib hadir di tengah masyarakat dan mereka wajib mengenal dan mengesan keberadaan seorang imam, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh pengarang kitab “Usul Al-Kafi”:
“مَنْ مَاَت وَلَمْ يَعْرِفْ إِمَامَ زَمَانِهِ مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa yang mati tanpa mengetahui imam pada masanya, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”[18].

Pada tempat lain Al-Kulaini dengan sanadnya dari Abu Ja’far as memaparkan bahwa: “sesungguhnya jika seorang imam diangkat dari bumi untuk sesaat saja, maka para penghuni bumi pasti akan bergelombang sebagaimana bergelombangnya laut dengan para penghuninya”[19]. Hal ini juga ditegaskan oleh syaikh Muhammad Ridha al-Muzhaffar, seorang ulama Syiah modern, yang berkata: “oleh karena itu, suatu masa/zaman tidak boleh kosong dari seorang imam yang harus ditaati yang dipilih langsung oleh Allah swt, tanpa memedulikan apakah manusia mau terima atau tidak, juga baik mereka mendukungnya ataupun tidak mendukungnya, menaatinya ataupun  tidak menaatinya, juga apakah mereka tampak kelihatan dari mata manusia ataupun  tidak kelihatan”[20].

Dalam keadaan seperti di atas dan ketika imam Hasan Al-Askari wafat, dengan sigapnya seorang rekan imam Hasan Al-Askari bernama Usman bin Said menyatakan bahwa Hasan al-Askari sebenarnya telah memiliki seorang anak sebelum ia wafat. Anak ini seharusnya berusia empat tahun dan diberi nama “Muhammad”.  Dan anak ini menghilang dari pandangan mata, sebab ia dalam “keghaiban”, sehingga hanya  Usman bin Said yang dapat berhubungan dengannya. Dan semenjak itu Usman bin Said  bertindak sebagai perwakilan dari Imam Gaib. Salah satu alasan Ghaibnya Muhammad Hasan Askari disebutkan oleh seorang ulama Syiah Imamiah yaitu imam Al –Tusi, ia katakan: “Tidak ada alasan yang menghalangi kemunculannya, selain karena ia khawatir dibunuh. Sebab jika tidak ada kekhawatiran ini, ia tidak boleh menyembunyikan diri”[21]. Oleh karena itu pengikut Syiah jika ditanya penyebab dan hikmah persembunyian imam Mahdinya di dalam gua dan tidak menzahirkan diri di hadapan orang ramai, mereka akan mengatakan bahwa dikhawatirkan keselamatannya dari pengejaran penguasa khilafah Abbasiyah yang senantiasa memantau pergerakan imam Hasan Askari dan keluarganya.

Menurut kepercayaan Syiah Imamiyah, Imam yang kedua belas sebenarnya mengalami peristiwa menghilang (Ghaib) sebanyak dua kali, yaitu ghaib gughra “pendek/singkat” dan ghaib kubra “lama/panjang”. Ghaib sughra dimulai sejak kelahirannya pada tahun 255 Hijri, dan berlanjut hingga tahun 329 Hijri. Sepanjang masa ini, meskipun ia ghaib di mata manusia, namun ia melalui sejumlah orang kanan/khas dapat berhubungan dan menjalin komunikasi yang baik dengan orang-orang Syiah, terutama untuk menjawab persoalan dan masalah agama ketika itu[22].

Orang kanan imam Ghaib yang menjadi wakil umat Syiah ada empat orang
– Pertama, Usman bin Sa’id. Dia adalah sahabat Imam Hadi dan Imam Hasan Askari yang terpercaya. Dia adalah salah satu orang yang dipertemukan atau diperlihatkan langsung baginya Imam Mahdi oleh Imam Hasan Askari yang berkata, “Setelah ini, kalian tidak akan melihatnya lagi dan di masa gaib, kalian harus patuh kepada Usman bin Sa’id karena dialah pengganti Imam kalian”.
– Kedua, Muhammad bin Usman Al-Umriy. Dia ditunjuk sebagai naib dari pihak yang suci setelah ayahnya. Usman bin Sa’id menjelang wafatnya mengatakan: “Setelahku, putraku, Muhammad, akan menjadi penggantiku dan naib Imam kalian. Niyabah-nya ‘kewakilannya’ telah didukung dan dibenarkan oleh Imam Mahdi as”.
– Ketiga, Husain bin Ruh. Muhammad bin Usman menjelang wafatnya mengenalkan Husain sebagai penggantinya dan Husain pun mendapat kepercayaan sebagai wakil dari Imam Mahdi. Kepada sahabatnya, Muhammad bin Usman mengatakan: “Aku telah diberi tugas oleh Imam Mahdi as untuk menunjuk Husain bin Ruh sebagai wakil dan merujuklah kepadanya dalam berbagai urusan agama”.
– Keempat, Ali bin Muhammad Samari. Dia adalah salah seorang tokoh terkenal dan ternama serta terpercaya di kalangan Syiah ketika itu. Husain bin Ruh, sebelum wafat, menunjuknya sebagai wakil dari pihak yang suci.

Dengan demikian Ali bin Muhammad Samari merupakan wakil khas Imam Mahdi yang terakhir.
Pada tahun 329 Hijri, Ali bin Muhammad Samari wafat. Sebelumnya, dia membacakan surat yang datang dari tempat yang suci untuk manusia. Di dalam surat tersebut tertulis:
“Enam hari lagi, ajalmu akan tiba. Urusi dan selesaikan semua pekerjaanmu. Namun, jangan engkau menunjuk wakil atau penggantimu. Sejak sekarang, keghaiban akan benar-benar sepenuhnya terjadi (dalam masa yang lama). Aku sendiri tidak akan muncul dan keluar dari keghaibanku. Selagi hati manusia belum beku dan bumi belum dipenuhi dengan kezaliman, Allah swt tidak akan mengizinkanku muncul. Sebelum syarat-syarat itu ada, siapa saja yang mengaku melihatku telah berdusta dan janganlah kalian percaya kepadanya”.

Periode gaib sughra dan niyabah ‘perwakilan’ wakil-wakil khas terus menerus berlanjut dalam masa 74 tahun. Oleh karena itu dalam masa Ghaib ini, golongan Syiah imamiah mengadakan hubungan dengan Imam Mahdi melalui para empat wakil-wakil di atas. Hikmah di sebalik adanya ghaib sughra yang memerlukan masa 74 tahun lamanya, bertujuan supaya pengikut Syiah mempersiapkan diri untuk menghadapi ghaib kubra yang begitu lama sehingga penantiannya akan berakhir masa-masa dekatnya hari kiamat.

Kedua peristiwa ghaib ini dilandasi oleh riwayat dari Ishaq bin Ammar mengatakan: “Dari Imam Ja’far Sadiq, aku mendengarnya menyatakan, “Al-Qaim mengalami dua keghaiban: gaib yang lama (panjang) dan lainnya singkat (pendek). Pada ghaib sughra, hanya orang-orang tertentu dari kalangan Syiah dan yang memiliki kepimpinan (wilayah) yang mengetahui keberadaan Imam Mahdi saat itu. Selain itu, tiada yang mengetahuinya”.

Beberapa keganjilan-keganjilan yang timbul dari alasan keselamatan hayat imam Mahdi yang dikemukakan oleh al-Tusi dan ulama Syiah lainnya, sebab beberapa hal perlu dipertimbangkan, yaitu: kalaulah benar telah disebutkan dalam berbagai kitab-kitab referensi utama mereka bahwa al-Mahdi merupakan seorang insan yang ditolong, dijaga dan dibantu, sebab ia dalam naungan dan lindungan Allah swt, tapi mengapa ia menjauhkan dan menyembunyikan diri dan tidak muncul di hadapan orang ramai?. Semestinya ia tidak bersembunyi dan justru sebaliknya lebih baik menzahirkan diri, sebab ia dalam penjagaan Allah swt.

Tentu keyakinan seperti ini akan membawa kesan bahwa imam Mahdi tidak komitmen dengan kepimpinannya sebagai pemimpin yang berani melindungi pengikutnya dari kejaran penguasa khilafah Abbasiyah, ia pemimpin yang takut dari keramaian dan massa serta menghindar dari berbagai kritikan dan cabaran yang dihadapi oleh pengikut Syiah saat itu. Di samping itu dalam keyakinan Syiah Imam Mahdi Syiah khawatir akan terbunuh sehingga menyembunyikan diri, akan memiliki konsekuensi gugur dan pupus imamahnya. Sebab, menurut Syiah, seorang imam haruslah manusia yang paling berani. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah kitab Syiah bertajuk “AL-Anwar AL-Nu’maniyyah” bahwa: “Seorang imam memiliki beberapa tanda: ia adalah orang yang paling alim, paling bijak, paling bertakwa dan paling berani”[23].

Di samping itu, Syiah Imamiah membantah keras kepercayaan tentang imam Mahdi dari golongan-golongan selain Syiah Imamiah, seperti dakwaan Syiah Hashimiyyah bahwa Muhammad bin al-Hanafiah adalah imam Mahdi yang sebenar. Oleh karena itu dakwaan seperti ini merupakan pemikiran yang mengeksploitasi dan menghianati imam Mahdi yang sebenar yaitu imam kedua belas Muhammad bin Hasan al-Askari[24].

Apapun halnya, di antara kepercayaan Syiah Imamiah yang paling menonjol dan memenuhi lembaran-lembaran kitab mereka adalah akidah al-Mahdi al-Muntazhar. Akidah ini sering kali diiringi dengan berbagai khurafat dan kepercayaan yang menyimpang dan tidak diterima oleh golongan Ahli Sunnah wal Jamaah. Dan ide tentang kemunculannya di akhir zaman nanti telah tertanam kuat di dalam keyakinan Syiah imamiah, mereka telah bersiap sedia menanti kemunculannya dalam waktu dekat ini-menurut klaim mereka-, dan mereka berbicara mengenai kemunculannya pada beberapa ritual Syiah. Oleh karena itu tidak heran kalau semenjak ratusan tahun lepas, orang syiah di berbagai negara merayakan kelahiran imam Mahdi[25].

Dengan akidah ini mereka terus melanjutkan dakwah kesucian para imam, dan cara ini mereka dapat mengutip uang dari pengikut mereka sebanyak 1/5, dengan alasan ini adalah bagian imam al-Mahdi al-Muntazhar. Dan dengan cara ini mereka mengaku bahwa terjalin hubungan dengan ahlul bait.

Mereka terpaksa menciptakan akidah yang jauh dari logika karena mereka telah membatasi kepemimpinan (imamah) hanya kepada keturunan Husain dan kepada beberapa orang tertentu sahaja. Akan tetapi pada tahun 260H mereka dikejutkan dengan kematian al-Hasan al-Askari -yang menurut kepercayaan mereka dia adalah imam yang kesebelas- tanpa meninggalkan keturunan, maka kematiannya ini membuat mereka terpecah dan tidak tentu arah. Dan menurut sejarawan syiah imamiyah yaitu imam al-Nawbakhti bahwa mereka terpecah menjadi empat belas kelompok, dan menurut al-Qummi mereka terpecah menjadi lima belas kelompok. Kedua tokoh ini, -al-Nawbakhti dan al-Qummi- adalah ulama syiah imamiah atau dikenal sebagai syiah “al-Rafidhah” yang telah menyaksikan terjadinya peristiwa ini, dan keduanya adalah pembesar mereka pada abad ketiga.

Dari sini dapat dipahami bahwa kematian imam al-Hasan al-Askari menjadikan Syiah Imamiah dan puak-puak selepasnya bertambah banyak dan semakin ramai, sebagaimana yang dinyatakan oleh tokoh sejarah syiah yaitu al-Mas’udi, ia menyebutkan bahwa syiah ketika itu berpecah sampai 20 puak[26]. Di antara pandangan mereka, ada yang mengatakan bahwa imam Hasan bin Ali al-Askari masih hidup, ia hanya gaib dari penglihatan mata dan tidak boleh mati serta tidak memiliki seorang pun anak[27]. Puak yang meyakini ini pada akhirnya mengatakan bahwa dialah yang akan dijadikan sebagai imam Mahdi di kemudian hari, dan ada yang mengatakan juga bahwa dia sebenarnya telah mati, dan akan dibangkitkan di kemudian hari untuk menjadi imam Mahdi. Syekh Ja’far Subhani -salah seorang ulama syiah imamiah kontemporer- menjulukinya sebagai (اَلْمُصْلِحُ الْعَالَمِيُّ), “Universal Reformer”, atau  yang bermakna (Pendamai Dunia) [28].               Oleh karena itu, terdapat beberapa misteri dalam perbincangan imam Mahdi versi Syiah Imamiah, di antaranya adalah: tarikh penentuan masa kelahirannya, hari, bulan dan tahun. Adanya perselisihan tentang umurnya tatkala ayahandanya wafat antara dua tahun ke delapan tahun. Perselisihan nama ibunya (Narjis, Shaqil, Raihanah, atau Susan). Di samping itu perselisihan tentang warna kulitnya antara putih dan hitam.

Dalam pandangan Syiah Imamiah, Imam Mahdi adalah “Muhammad bin Hasan al-‘Askari” dilahirkan pada malam Jumat, 15 Sya’ban 255 atau 256 H. Ayahandanya adalah Imam Hasan al-‘Askari adalah imam yang sebelas dalam salasilah imam 12, dan ibunda nya—menurut beberapa riwayat—bernama Narjis, Shaqil, Raihanah, atau Susan. Akan tetapi, beragamnya nama yang dimiliki oleh ibundanya ini tidak mengindikasikan keberagaman diri sebagai seorang wanita. Karena, boleh sahaja dan mungkin ibunya  memiliki nama yang banyak atau beragam[29]. Sementara Syekh Ja’far Subhani memilih bahwa nama asal ibunda imam mahdi adalah Narjis[30].

Narjis dilahirkan di Samirra`, sebuah kota besar di Irak dan pada masa khilafah Bani Abbasiah, kota tersebut pernah menjadi ibu negara kerajaan. Namun yang unik adalah imam Hasan al-Askari sebagai ayah dari imam Mahdi menyembunyikan kelahiran putranya dari manusia sehingga mereka jatuh dalam keraguan dan kebimbangan di sekeliling.

Bagi syiah, kelahiran imam Mahdi “Muhammad Hasan al-‘Askari” tidak dapat dinafikan oleh sesiapa, ianya sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Di antara riwayat asas yang mengesahkan kelahiran dan kewujudan imam Mahdi adalah keterangan dari Imam Ja’far al-Sadiq berkata: “Tidak akan meninggal dunia salah seorang dari kami kecuali ia akan meninggalkan seseorang yang akan meneruskan misinya, berjalan di atas sunnahnya dan melanjutkan dakwahnya” [31].

Sebenar kisah lengkap kelahiran imam Mahdi dalam pandangan syiah Imamiah diceritakan oleh Sayyidah Hakimah binti Imam Muhammad al-Jawad bercerita, bahwa:
“Abu Muhammad Hasan bin Ali (al-‘Askari) datang ke rumahku seraya berkata: “Wahai tanteku, berbuka puasalah di rumah kami malam ini. Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban. Allah Ta’ala akan menampakkan hujjah-Nya di atas bumi pada malam ini.” “Siapakah ibunya?”, tanyaku “Narjis”, jawabnya singkat. “Sepertinya ia tidak memiliki tanda-tanda kehamilan?”, tanyaku lagi. “Hal itu akan terjadi seperti yang telah kukatakan”, katanya menimpali.

Setelah sampai di rumahnya, kuucapkan salam dan duduk. Tidak lama Narjis datang menemuiku untuk melepaskan sliparku seraya berkata: “Wahai junjunganku, izinkanlah kulepaskan slipar Anda”. Tidak! Engkaulah junjunganku. Demi Allah, aku tidak akan mengizinkan engkau melepaskan sliparku dan berkhidmat kepadaku. Seharusnya akulah yang harus berkhidmat kepadamu”, tegasku. Abu Muhammad mendengar ucapanku itu. Ia berkata: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai tanteku.”

Kukatakan kepada Narjis: “Pada malam ini Allah akan menganugerahkan kepadamu seorang putra yang akan menjadikan junjungan di dunia dan akhirat.” Ia duduk sambil menahan malu.
Setelah selesai mengerjakan salat Isya`, aku berbuka puasa dan setelah itu, pergi ke tempat tidur. Ketika pertengahan malam tiba, aku bangun untuk mengerjakan shalat. Setelah aku selesai mengerjakan shalat, Narjis masih tertidur pulas dan tidak ada kejadian khusus terhadap dirinya. Akhirnya aku duduk-duduk sambil membaca wirid. Setelah itu, aku terbaring hingga tertidur pulas. Tidak lama kemudian, aku terbangun dalam keadaan tertegun, sedangkan ia masih tertidur pulas. Tidak lama berselang, ia terbangun dari tidurnya dalam keadaan ketakutan. Ia keluar untuk berwudu. Ia kembali ke kamar dan mengerjakan shalat. Ketika ia sedang mengerjakan rakaat witir, aku merasa bahwa fajar sudah mulai menyingsing. Aku keluar untuk melihat fajar. Ya, fajar pertama telah menyingsing. (Melihat tidak ada tanda-tanda ia akan melahirkan), keraguan terhadap janji Abu Muhammad mulai merasuki kalbuku. Tiba-tiba Abu Muhammad menegurku dari kamarnya: “Janganlah terburu-buru wahai tanteku. Karena janji itu telah dekat.” Aku merasa malu kepadanya atas keraguan yang telah menghantuiku. Di saat aku sedang kembali ke kamar, Narjis telah selesai mengerjakan shalat. Ia keluar dari kamar dalam keadaan ketakutan, dan aku menjumpainya di ambang pintu. “Apakah engkau merasakan sesuatu?”, tanyaku. “Ya, tanteku. Aku merasakan berat sekali”, jawabnya. “Ingatlah Allah selalu. fokuskan pikiranmu. Hal itu seperti yang telah kukatakan padamu. Engkau tidak perlu takut”, kataku menguatkannya.

Lalu, aku mengambil sebuah bantal dan kuletakkannya di tengah-tengah kamar. Kududukkannya di atasnya dan aku duduk di hadapannya layaknya seorang wanita yang sedang menangani seseorang yang ingin melahirkan. Ia memegang telapak tanganku dan menekannya sekuat tenaga. Ia menjerit karena kesakitan dan membaca dua kalimat syahadah. Abu Muhammad berkata dari balik kamar: “Bacalah surah al-Qadr untuknya.” Aku mulai membacanya dan bayi yang masih berada di dalam perut itu menirukan bacaanku. Aku ketakutan terhadap apa yang kudengar. Abu Muhammad berkata lagi: “Janganlah merasa heran terhadap urusan Allah. Sesungguhnya Allah membuat kami berbicara dengan hikmah pada waktu kami masih kecil dan menjadikan kami hujjah di atas bumi-Nya ketika kami sudah besar.”

Belum selesai ucapannya, tirai cahaya menutupiku untuk dapat melihatnya. Aku berlari menuju Abu Muhammad sambil menjerit. “Kembalilah wahai tanteku. Engkau akan mendapatkannya masih di tempatnya”, katanya padaku.

Aku kembali. Tidak lama kemudian, tirai cahaya itu tersingkap. Tiba-tiba aku melihatnya dengan sekumpulan cahaya yang menyilaukan mataku. Kulihat wali Allah dalam kondisi sujud. Di lengan kanannya tertulis: “Telah datang kebenaran dan sirna kebatilan. Sesungguhnya kebatilan telah sirna”. Ia berkata dalam keadaan sujud: “Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, kakekku Muhammad adalah Rasulullah, dan ayahku Amirul Mukminin wali Allah.” Selanjutnya ia menyebutkan nama para imam satu-persatu hingga sampai pada dirinya. Kemudian, ia berdoa: “Ya Allah, wujudkanlah untukku apa yang telah Kau janjikan padaku, sempurnakanlah urusanku, kokohkanlah langkahku, dan penuhilah bumi ini karenaku dengan keadilan.” Setelah itu, ia mengangkat kepalanya seraya membaca ayat, “Allah bersaksi dalam keadaan menegakkan keadilan bahwa tiada tuhan selain-Nya, dan begitu juga para malaikat dan orang-orang yang diberi ilmu. Tiada tuhan selain Ia yang Maha Perkasa dan Bijaksana. Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam”. (QS. Ali ‘Imran : 18-19) Kemudian, ia bersin. Ia berkata: “Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Semoga Allah mencurahkan shalawat atas Muhammad dan keluarganya. Orang-orang zalim menyangka bahwa hujjah Allah telah sirna.”
Aku menggendongnya dan mendudukkannya di pangkuanku. Sungguh anak yang bersih dan suci. Abu Muhammad berkata: “Bawalah putraku kemari wahai tanteku.” Aku membawanya kepadanya. Ia menggendongnya seraya memasukkan lidahnya ke dalam mulutnya dan mengelus-elus kepala, kedua mata, telinga dan seluruh sikunya. Lalu, ia berkata kepadanya: “Berbicaralah wahai putraku.” Ia membaca dua kalimat syahadah dan mengucapkan shalawat untuk Rasulullah dan para imam satu-persatu. Setelah sampai di nama ayahnya ia diam sejenak. Ia memohon perlindungan dari setan yang terkutuk seraya membaca ayat: “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Dan Kami akan memberikan anugerah kepada orang-orang yang tertindas di muka bumi, menjadikan mereka para pemimpin dan para pewaris. Dan Kami akan menjayakan mereka di muka bumi dan memperlihatkan kepada Firaun, Haman dan bala tentara mereka apa yang mereka takutkan.”

Setelah itu, Abu Muhammad memberikannya kepadaku kembali seraya berkata: “Wahai tanteku, kembalikanlah kepada ibundanya supaya ia berbahagia dan tidak susah. Sesungguhnya janji Allah adalah benar. Akan tetapi, mayoritas umat manusia tidak mengetahui”. Kukembalikan ia kepada ibunya dan fajar telang menyingsing waktu itu. Setelah mengerjakan shalat Subuh, aku mohon diri kepadanya[32].

Apapun halnya, golongan Ahli Sunnah wal Jamaah, membantah imam Mahdi versi Syiah, sebagaimana bantahan imam ibnu Kathir dalam kitabnya “al-Fitan Wa al-Malahim” ia berkata: ”Masalah imam Mahdi yang akan muncul di akhir zaman, yang merupakan salah seorang dari khalifah-khalifah yang lurus dan imam-imam yang mendapatkan petunjuk. Dia bukanlah imam Mahdi nya golongan Syiah yang mereka harap akan muncul dari gua Saamirra. Karena semua itu tidak sesuai dengan realitas, tidak terlihat wujudnya tidak ada pula tanda-tandanya. Mereka menganggap imam Mahdi itu adalah Muhammad bin al-Hasan al-Askari yang masuk ke gua. Kemudian beliau berkata juga: ”al-Mahdi akan keluar dari arah Masyriq, bukan dari gua samirra seperti anggapan orang-orang bodoh dari kalangan Rafidah (Syiah Imammyah Itsna ‘Asyariah), yang menganggapnya sudah ada sekarang dan mereka terus menunggu keluarnya di akhir zaman. Sungguh ini adalah sebuah omong kosong dan kerendahan yang dilemparkan oleh setan. Karena tidak ada dalil, tidak ada bukti, tidak dari kitab al-Quran dan Sunnah, tidak dari akal yang sehat dan tidak pula dari Istihsan” [33]. Bantahan yang sama kepada Syiah oleh Imam al-Safarayani: “Adapun anggapan Syiah yang mengatakan bahwa namanya Muhammad bin al-Hasan, yakni Muhammad bin al-Hasan al-Askari maka itu hanyalah omong kosong karena Muhammad bin Al-Hasan telah mati dan warisan bapaknya telah diambil oleh pamannya Ja’far” [34]. Ibnu al-Qayyim ikut mengkritik dengan mengatakan: ”Sungguh mereka telah menjadikan diri mereka bahan tertawaan manusia, dan menjadi cemoohan orang yang berakal” [35].

Namun perlu juga disebutkan bahwa masalah munculnya imam Mahdi Syiah di satu tempat bernama Saamirra, Sardab, di negara Irak, telah dibantah dan dinafikan oleh ulama Syiah, sebab ini hanyalah sebuah tempat persinggahan imam Mahdi ketika dalam detik-detik akan Ghaib dari penglihatan manusia, dan buka berarti di situ juga akan kembali dimunculkan.  Tempat ini bagi Syiah dianggap salah satu tempat yang suci, sebab pernah didiami dan bermukim di dalamnya tiga imam Syiah, yaitu imam Ali al-Hadi (Imam kesepuluh), imam Hasan Askari (Imam kesebelas) dan imam Muhammad Hasa Askari (Imam kedua belas sebagai imam Mahdi). Di samping itu di tempat inilah masa-masa kecil imam Mahdi sebelum peristiwa al-Ghaibah[36].

Dalam keadaan imam kedua belas menghilang (Al-Ghaibah), maka semenjak itu hingga saat ini imamah berkelanjutan melalui sebuah konsep imamah yang dikenal dengan “Wilayah al-Faqih”, ini merupakan konsep terbaru dari golongan Syiah Imamiyah di Iran, sebagai al­ternatif dari Imam yang menghilang dari pandangan mata manusia (imam al-Gha’ib), akibat se­rangan-serangan yang dilancarkan kepada mereka. Sebab salah satu ajaran asas dalam Syiah adalah meng­akui adanya Imam pada setiap masa, yang tugasnya memecahkan segala persoalan umat. Namun karena imam tersebut tidak muncul juga, dan justru akan muncul di akhir zaman, maka dimunculkanlah sistem “wilayah al-Faqih”.  Bagi mereka konsep ini berlandaskan kepada pesanan langsung imam Mahdi sendiri kepada wakilnya yang kedua yaitu Muhammad bin Utsman Al-Umriy, wasiat tersebut disebutkan dalam kitab “Bihar Al-Anwar” dan kitab “Wasail Al-Syiah”, berbunyi:
وَأَمَّا الْحَوَادِثُ الْوَاقِعَةُ فَارْجِعُوْا فِيْهَا إِلَى رُوَّاةِ حَدِيْثِنَا، فَإِنَّهُمْ حُجَّتِي عَلَيْكُمْ وَأَنَا حُجَّةُ اللهِ عَلَيْكُمْ
“Dan adapun kejadian yang terjadi (di saat Ghaibah) , maka kembalilah kepada marja’ para perawi hadis kami, karena mereka adalah hujjahku untuk kalian dan saya adalah hujjahnya Allah” [37].

Sekretariat Dewan Perlindungan Undang-undang Iran, Ayatollah Ahmad Jannati, mengatakan bahwa negaranya (Iran) membuka jalan bagi kemunculan Imam al-Mahdi yang dinantikan. Ia menekankan perlunya mempersiapkan diri untuk mematuhi perintahnya. Jannati menambahkan dalam pertemuan kenegaraan yang dilaporkan oleh “Iranian Students’ News Agency” yang disingkat dengan “ISNA”, berpusat di Teheran, Iran, pada hari Isnen (03/03/14), “Al-Mahdi tidak pernah berpisah dari rekan-rekan dan pendukungnya. Kita harus menunggu kemunculannya” . sementara perwakilan Waliyyul Faqih di Garda Revolusi Iran, Muhammad Sa’idy, belakangan ini mengatakan: “Sekarang waktu persiapan lokal, regional dan internasional. Karena waktu kemunculan Imam al-Mahdi sudah dekat” tutur Sa’idy[38].

Berkaitan dengan teori Wilayah al-Faqih ini, sebenarnya Syiah Imamiyah sendiri berbeda pendapat tentang kewujudannya. Dalam artian sebagian ulama Syiah tidak mengakui keabsahan teori tersebut, seperti syekh Murtaza al-Ansari dan syekh al-Sayyid al-Khuu’i, kedua ulama syiah ini terkenal menantang, mencabar dan mengingkari Wilayah al-Faqih, justru mereka sangat loyal menunggu kehadiran imam ghaib. Oleh karena itu ada hal yang menarik dicermati bahwa sebenarnya penubuhan konsep tersebut secara tidak langsung merupakan bentuk kritikan terhadap konsep Imam al-Mahdi al-Muntazar yang tak muncul-muncul sampai saat ini. Sebab peranan Imam Ma’sum yang ghaib ini tidaklah mudah dan sangat esensial, yaitu: menegakkan hudud dan memungut zakat. Bahkan  yang sangat bermasalah lagi kalau sebahagian penganut pahaman syiah Imamiyah merasa tidak wajib melaksanakan shalat Jumat karena ketidakhadiran imam al-Ghaib al-Muntazar. Jadi hal inilah yang dikhawatirkan oleh Imam Khumaini sehingga membela mati-matian konsep “wilayah al-Faqih” dalam berbagai buku karyanya, dan khususnya “al-Hukumah al-Islamiyah”. (dakwatuna.com/hdn)

— Selesai.

Catatan Kaki:
[1] Abu Hasan Al-Asy’ari, Maqaalat Al-Islamiyyin, 1/97.
[2] Ibnu Kathir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah, 8/290.
[3] Abu Hasan Al-Asy’ari, Maqaalat Al-Islamiyyin, 1/86. Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farq Baina Al-Firaq, 234.
[4] Lihat : Kamaluddin Nurdin, Agenda Politik Syiah, 48-51, Pts, Malaysia 2013.
[5] Al-Shahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 171-73.
[6] Al-Maliti, 1968, AL-Tanbih wa AL-Rad Ala Ahlil Hawa wal Bid’ah, 19, Kaherah, Matba’ah Al-Sa’adah.
[7] Al-Shahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, 174-75.
[8] Yahya bin Hamzah, 2009, Aqdullaaliu fi AL-Rad Ala Abi Hamid Al-Ghazali, Kaherah, Darul Aafaq Al-Arabiah, 168.
[9] Detail sila lihat Tesis PhD penulis, Mauqif Al-Zaidiyah wa Ahli Sunnah min Al-Akidah Al-Ismailiyah wa Falsafatuha. Darul Kutub Ilmiah Beirut-Lebanon, 2009.
[10] Yahya bin Ismail Al-Syajari, AL-Amaali AL-Khumaisiyyah, 253-260, Alam Al-Kutub, Beirut-Lebanon.
[11] Ali bin Husen AL-Zaidiy, Al-Muhit bi Al-Imamah, 55.
[12] Ibnu Ahmad AL-Fasi, Al-‘Iqdu Al-Tsamin, 225.
[13] Al-Muzhaffar, asyi-Syi’ah al-Imamiyyah, hal 7.
[14]  Mughniyah, al-Itsna Asyariyyah Wa Ahli al-Bayt, hal 15, Dar al-Jawad-Dar at-Tayyar al-Jadid, Beirut, cet 4, 1404 H.
[15] Ayatullah as-Sayyid Abdul Husain dastaghib, 1988 M,
[16] lih, Asy-Syaikh Abdullah Ni’mah, 1985 M, Ruh at-Tasyayyu’, hal 182, Beirut, Darul Fikr al-Lubnani.
[17] Adapun Syiah Zaidiyah, Imamah adalah sebuah kepemimpinan umum dengan ketentuan syari’at untuk individu yang tertentu dalam berbagai perkara agama dan dunia dengan catatan jangan sampai dia melakukan kezaliman. Berkaitan dengan definisi ini, imam Ahmad bin Yahya al-Murtadha berpendapat: “imamah adalah kepemimpinan umum untuk individu tertentu dengan ketetapan syari’at yang tidak mengandung unsur kezaliman”[17]. Sedangkan definisi yang diberikan oleh imam al-Qasim bin Muhammad adalah: “kepemimpinan umum dengan ketetapan syari’at untuk seorang laki-laki yang tidak memiliki kezaliman kepada seorangpun”. Orang laki-laki harus berasal dari keturunan ahlul bait, dan lebih tepatnya harus berasal dari keturunan Hasan dan Husain. Definisi ini boleh dikatakan sebagai definisi yang disepakati oleh para ulama Syiah Zaidiyah, sebagaimana yang diisyaratkan imam Humaidan bin Yahya dengan ucapannya mengenai hakikat imam, dia berkata: “iaitu seorang individu yang lengkap (sempurna) untuk memimpin manusia dalam agama dan dunia dalam bentuk yang tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi darinya, sebagaimana yang dikatakan oleh para imam kita –imam-imam Zaidiyah-alaihissalam”. Jadi menurut mereka imam yang legal adalah yang ditetapkan oleh syari’ah untuk menepikan semua jenis kepemimpinan yang lain yang berdiri berdasarkan kekerasan, paksaan, dan dasar pilihan bagi orang yang sebenarnya tidak berhak mendapatkannya. Oleh karena itu, imamah harus diberikan kepada individu yang tertentu yang berasal dari keturunan ahlul bait yang memenuhi semua persyaratannya. Dan syi’ah zaidiyah membatasi kewajiban rakyat terhadap imamnya terhadap perkara-perkara agama dan dunia yang berkaitan dengan kepentingan rakyat, seperti jihad, wilayah, hukuman, dan perkara zakat, sedangkan hal yang berkaitan dengan perkara agama dan dunia secara syar’i  tidak masuk ke dalam kapasitasnya (kekuasaannya). Dari sini, menurut Syiah Zaidiyah seorang imam tidak boleh turun dari tahtanya jika dia mendapati di antara rakyatnya ada orang-orang yang mau membantunya untuk melaksanakan perintah Allah dan berjihad bersamanya. Sedangkan jika dia tidak mendapati di antara rakyatnya yang mau membantunya melaksanakan perintah Allah dan berjihad bersamanya di jalan Allah maka dia boleh melepaskan jabatannya, sebagaimana sikap yang telah diambil oleh Ali as untuk tidak menuntut kekhilafahan setelah kematian Rasulullah saw Meskipun jawatan itu adalah haknya. Begitu juga yang telah dilakukan oleh anaknya, Hasan bin Ali as, manakala para sahabatnya mengkhianatinya dan mengecewakannya, maka dia tinggalkan mereka dan dia serahkan jawatan kepada Mu’awiyah. Begitu juga yang telah dilakukan oleh al-Qasim bin Ibrahim yang telah dibay’at, dan orang-orang telah mengelilinginya, kemudian dia saksikan kegagalan mereka dan dia memiliki keyakinan bahwa dia tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka dia lepaskan jawatannya; karena perkara ini tidak akan dapat berhasil tanpa bantuan para penolong dan pendukung, jika mereka tidak mendukungnya maka gugur kewajibannya untuk menjadi imam.  Untuk detail sila rujuk buku penulis “Agenda Politik Syiah”, PTS Millennia, 2013.
[18] Hadits ini diriwayatkan oleh al-Kulaini dalam Ushul al-Kafi, bab Da’aim al-Islam, 2/54.
[19] Ushul al-Kafi, bab “Annal ardha la takhlu min hujjah”, 1/201.
[20] Al-Muzhaffar Muhammad Ridha, Aqa`id al-Imamiyyah, hal 66.
[21] Al-Tusi, Al-Ghaibah, hal: 99.
[22] Ayatullah Al-Sayyid Muhammad Al-Sadr, Mausuu’ah Al-Imam Al-Mahdi, Dar AL-Ta’aruf, Beirut-Lebanon.
[23] Ni’matullah Al-Jazairi, Al-Anwar Al-Nu’maniyyah, hal: 99.
[24] Muhamad Muhdi Al-Musawi Al-Khalkhali, 1994, Baqiyatullah, 147, Dar Al-Nubalaa, Beirut-Lebanon.
[25] Al-Sayyid Kadzim al-Qazawaini, Al-Imam al-Mahdi min al-Mahd ilâ azh-Zhuhûr, hal. 111.
[26] Lihat: Muruj al-Zahab, 4/190.
[27] Lihat: al-Nubakhti, Firaq al-Syiah, hal 96.
[28] Ja’far Subhani, Al-Akidah Al-Islamiah ‘Ala Dau’I Madrasah Ahlil Bait, , hal 212, Qum.
[29] Tafsir al-Alusi, 6/315.
[30] Al-Akidah Al-Islamiah ‘Ala Dau’I Madrasah Ahlil Bait, Ja’far Subhani, hal 213, Qum.
[31] Usul al-Kafi, 1/397.
[32] Al-Sayyid Kadzim al-Qazawaini, Al-Imam al-Mahdi min al-Mahd ilâ azh-Zhuhûr, hal. 136-140.
[33] Ibnu Kathir, al-Fitan Wa al-Malahim, 1/29.
[34] Al-Safarani, Lawami’ al-Anwar, 2/84.
[35] Ibu al-Qayyim, al-Manar al-Munif, 151-152.
[36] Lihat, Salem al-Saffar al-Najafi, 2008, Mausuu’ah al-Imam al-Mahdi, 1/431-560, Dar Nadzim,
[37]AL-Majlisi, Bihar Al-Anwar, 2/90. Wasail Al-Syiah, 27/150.
[38] http://www.isna.ir/page/archive.xhtml?lang=en&date=2015%2F03%2F03


Sumber: https://www.dakwatuna.com/2016/12/30/84510/imam-mahdi-perspektif-aliran-aliran-syiah-bagian-2/

Comments